Jumat 07 Jun 2024 13:27 WIB

REI Ungkap Stagnasi Backlog RI, Tapera Jadi Solusi?

Menteri PUPR menyebut pemberlakuan Tapera berpeluang diundur.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola (BP) Tapera, Jakarta, Selasa (4/6/2024). Semenjak BP Tapera beroperasi hingga 2024, BP Tapera telah mengembalikan Tabungan Perumahan Rakyat kepada 956.799 orang PNS pensiun atau ahli warisnya senilai Rp4,2 Triliun.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola (BP) Tapera, Jakarta, Selasa (4/6/2024). Semenjak BP Tapera beroperasi hingga 2024, BP Tapera telah mengembalikan Tabungan Perumahan Rakyat kepada 956.799 orang PNS pensiun atau ahli warisnya senilai Rp4,2 Triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Real Estat Indonesia (REI) memahami upaya pemerintah menjalankan kewajiban Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dalam meningkatkan ketersediaan rumah bagi masyarakat. Di sisi lain, REI juga mengerti besarnya penolakan dari masyarakat terkait aturan baru Tapera yang mewajibkan pemotongan gaji dari seluruh pekerja swasta.

"Tapera itu untuk mendorong penyelesaian penyediaan rumah bagi masyarakat," ujar Ketua Umum DPP REI Joko Suranto saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Jumat (7/6/2024).

Baca Juga

Joko mengungkapkan terdapat 12,7 juta kepala keluarga yang belum memiliki rumah pada 2020 atau angka kesenjangan kebutuhan dan kemampuan penyediaan (backlog) rumah. Angka ini sekitar 20 persen dari jumlah kepala keluarga di Indonesia.

Joko menyebut upaya mengurangi backlog dalam beberapa tahun terakhir tidak menunjukkan hal yang signifikan. Joko mencatat backlog sebesar 12,7 juta kepala keluarga pada 2020 hanya turun sekitar 10 persen dari backlog pada 2010 yang sebesar 13,5 juta kepala keluarga.

"Masalahnya itu sudah semakin besar soal kebutuhan rumah. Adanya kebutuhan otomatis harus ada anggaran atau pembiayaan, sementara APBN kita terbatas," sambung Joko.

Joko mengatakan kemampuan pemerintah dalam menyediakan rumah murah melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih sangat terbatas.

Alokasi rumah subsidi yang biasanya mencapai 300 ribu unit rumah per tahun kini terus menurun menjadi 229 ribu unit rumah pada tahun lalu dan hanya 160 ribu unit rumah untuk tahun ini. 

"Jadi masalah ini memang harus segera ada anggaran baru untuk penyediaan rumah," ucap Joko.

Joko menyampaikan pemerintah pun melirik konsep gotong-royong melalui kewajiban Tapera dalam mengatasi keterbatasan anggaran penyediaan rumah. Namun, ucap Joko, persoalan komunikasi menjadi salah satu faktor yang membuat kebijakan ini menuai kecaman keras dari publik.

"Masyarakat menangkapnya ini langsung berlaku seketika untuk semuanya. Nah kalau tidak salah, aturan ini kemarin sudah ditarik," lanjut Joko.

REI sebagai mitra pemerintah, sambung Joko, akan selaku mendukung upaya penyediaan rumah. Namun, REI juga kerap memberikan masukan kepada pemerintah agar kebijakan penyediaan rumah dapat diterima seluruh pihak.

"Dalam konteks penolakan kemarin, kita menyampaikan bahwa ini harus dilihat karena ada faktor ketidakpercayaan pengelolaan pemerintah, kemudian juga adanya penurunan daya beli masyarakat," lanjut Joko.

REI menawarkan Propertinomic....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement