Selasa 04 Jun 2024 15:20 WIB

Ekonom Indef: Ketidakadilan Sosial Makin Memburuk 10 Tahun Terakhir 

BPS menunjukkan data jumlah pengangguran dari kalangan generasi Z sangat tinggi.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Pencari kerja beristirahat saat Jakarta Job Fair 2024 di Jakarta, (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pencari kerja beristirahat saat Jakarta Job Fair 2024 di Jakarta, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyampaikan kajian tentang refleksi Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni dan kaitannya dengan perwujudan keadilan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Para ekonom Indef menekankan soal masalah ketidakadilan sosial dan ekonomi yang memburuk.

Ekonom Senior Indef Didin S Damanhuri, mengatakan amanat pada sila kelima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi poin penting dalam merefleksi Hari Lahir Pancasila. Menurut analisisnya, kenyataannya terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia, meski negara ini sudah merdeka hampir delapan dasawarsa.

Baca Juga

“Kalau dikonfrontasikan dengan data-data, kita melihat masalah terbesar adalah pada ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin memburuk selama 10 tahun terakhir,” kata Didin dalam diskusi publik bertajuk ‘Hari Lahir Pancasila: Ekonomi Sudah Adil untuk Semua?’ yang diadakan secara daring, Selasa (4/6/2024).

Didin menjelaskan, pandangan tersebut didukung oleh data-data makro. Hal itu dilihat dari ketidakadilan antar golongan pendapatan yang terangkum dalam tiga ukuran atau indikator, yakni ketidakadilan antargenerasi, antarwilayah, dan antarsektor.

 

Mengenai ketidakadilan antargenerasi, dia menyoroti soal data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan data jumlah pengangguran dari kalangan generasi Z yang sangat tinggi. Kaitannya pula dengan polemik uang kuliah tunggal (UKT) yang belakangan ini mencuat dan mendapat protes dari publik.

“Baru saja BPS merilis data yang mencengangkan bahwa ada 10 juta gen Z yang tidak sekolah dan tidak bekerja. Pertanyaannya ketika ada isu UKT, kemana saja Kemendikbud selama 10 tahun terakhir ini ini? Ini sangat menusuk rasa keadilan bagi generasi milenial dan generasi Z,” tuturnya.

Lalu, mengenai konteks ketidakadilan antar wilayah. Hal itu terjadi meskipun otonomi daerah sudah dimulai sejak 2004. Didin pun menyinggung soal anggaran pendidikan ratusan triliun yang ambigu arahnya, terutama pendidikan-pendidikan di daerah. Terlebih Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa biaya pendidikan akan dinaikkan lagi pada tahun depan.  

“Pertanyaan terbesar dari sisi keadilan akses kepada pendidikan adalah yang anggaran pendidikan 20 persen APBN, mulai dari Rp 300-an triliun, Rp 400-an triliun, Rp 500-an triliun, samapai Rp 686 triliun, dan nanti tahun depan Rp 770 triliun, sudah jadi peran apa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar dia.

Kemudian, dari sisi keadilan antar sektor, Didin mengkritisi mengenai sektor-sektor tertentu, seperti sektor timah dan nikel yang jauh kondisinya dibandingkan sektor lainnya, semisal sektor agromaritim (prikanan, kelautan, dan pertanian).

“Di sektor timah saja baru saja kita dengar bahwa kerugian negara akibat dari korupsi timah itu Rp 300 triliun, ini baru satu sektor saja. Tapi di tambah itu sangat jauh, buruh-buruhnya pun lebih sejahtera, dibandingkan misalnya nelayan. Jadi ketidakadilan antar sektor agromaritim dengan tambang sangat jomplang tapi hasilnya dikorupsi, besar-besaran pula,” kata Didin.

“Belum lagi bicara soal setelah timah terkuak, saya kira akan banyak dikuak nikel. Ini ada informasi awal bahwa ini yang terjadi di sektor nikel pun besar-besaran,” lanjutnya. 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement