REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Pengembangan Kajian Hukum & ESG Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Fransiska Oei memandang bahwa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 merupakan peraturan yang menyeimbangkan perlindungan konsumen maupun pelaku usaha jasa keuangan (PUJK).
"Kalau kami melihat dan sesuai dengan diskusi kami dengan OJK, POJK ini sebenarnya adalah bentuk keseimbangan," kata Fransiska dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Meskipun POJK tersebut berjudul "Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan", Fransiska mengingatkan bahwa pada sisi lain PUJK memiliki hak untuk mendapatkan pelindungan hukum apabila terdapat konsumen yang beritikad tidak baik. Hal itu sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 6 dan 7.
Fransiska mencontohkan, konsumen yang disebut beritikad tidak baik salah satunya seperti konsumen yang mengalihkan atau menyewakan agunan tanpa persetujuan dari PUJK.
Selain itu, konsumen yang tidak menyelesaikan atau membayar kewajiban sesuai dengan waktu yang disepakati juga dapat disebut beritikad tidak baik.
Namun sepanjang konsumen beritikad baik, imbuh dia, tentunya PUJK akan melakukan restrukturisasi kredit apabila nasabah atau kreditur mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya.
PUJK juga akan menegosiasikan dengan pihak nasabah untuk dapat menyelesaikan kewajiban sesuai dengan kemampuannya.
"Kami dari perbankan melihat, sekali lagi, POJK ini adalah dalam rangka untuk melindungi nasabah yang beritikad baik. Yang beritikad tidak baik, saya rasa tidak perlu dilindungi dan ini saya rasa berdasarkan diskusi kami dengan OJK itu sudah sejalan," kata dia.
Fransiska mengatakan, penjelasan yang lebih komprehensif atas POJK No. 22 Tahun 2023 perlu terus disosialisasikan guna menghindari kesalahpahaman. Jangan sampai peraturan tersebut disalahtafsirkan dan disalahgunakan oleh nasabah yang beritikad tidak baik.
Senada dengan Fransiska, Kepala Departemen Pelindungan Konsumen OJK Rudy Raharjo menyampaikan bahwa POJK No. 22 Tahun 2023 pada dasarnya tidak hanya untuk menyeimbangkan pengaturan pelindungan terhadap konsumen melainkan juga mendorong PUJK agar bisa berkembang dengan baik.
Melalui peraturan baru tersebut, dia berharap PUJK juga dapat memastikan adanya itikad baik dari calon konsumen atau konsumen. Memang ini bukan hal yang mudah (memastikan itikad baik konsumen) karena PUJK dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik, tercepat, salah satunya. Ini suatu tantangan.
"Satu sisi harus bisa memberikan pelayanan, memberikan pembiayaan atau kredit dengan cepat. Tetapi kami juga mengharapkan pemberian kredit tersebut juga setidaknya memenuhi 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition) sehingga untuk mengurangi adanya permasalahan di kemudian hari," kata dia.
Rudy pun memastikan, POJK tersebut tidak bertujuan untuk melindungi konsumen nakal atau beritikad tidak baik. Apabila konsumen terbukti wanprestasi, maka pemberi kredit juga dapat mengeksekusi atau menarik agunan sesuai dengan UU Jaminan Fidusia.
"POJK kalau dilihat dari strata atau tata urutan peraturan perundang-undangan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Jadi POJK ini merujuk kepada UU P2SK, namun juga merujuk UU Jaminan Fidusia dan juga undang-undang tanggungan dan sebagainya yang terkait dengan perlindungan konsumen," kata Rudy.