REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman Purwadi Purwoharsojo menilai penerapan pajak hiburan sebesar 40 persen–75 persen yang diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi daerah.
"Kalau pajak yang dinaikkan luar biasa seperti itu tapi pertumbuhan ekonomi makro masih rendah, pasti berat bagi bisnis pengusaha itu sendiri atau pun bagi konsumen," kata Purwadi.
Menurut Purwadi, kenaikan pajak hiburan tersebut tidak sejalan dengan kondisi ekonomi makro yang belum pulih sepenuhnya dari dampak pandemi Covid-19. Ia menilai, pajak hiburan yang tinggi akan memberatkan pengusaha dan konsumen, terutama di kota-kota metropolis seperti Samarinda dan Balikpapan.
"Karena memang kondisi ekonomi kita belum pulih banget, baru pemulihan dari Covid-19," ujar Purwadi.
Purwadi menjelaskan, pajak hiburan yang tinggi akan menambah beban konsumen yang menikmati makan, minum, atau belanja produk tertentu. Pendapatan daerah lebih mengandalkan pajak dan harga barang sebagai sumber pendapatan negara, tanpa memaksimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus kepada insentif pajak bagi pengusaha besar yang berinvestasi di sektor sumber daya alam.
Purwadi berharap, pemerintah tidak mengambil keputusan secara sepihak tanpa berdiskusi dengan pengusaha terkait penerapan pajak hiburan. Ia menginginkan adanya dialog antara pemerintah dan pengusaha untuk mencari solusi yang tidak merugikan semua pihak.
"Saya pikir begini tidak boleh juga secara sepihak tanpa diskusi dengan pengusaha dululah, karena mereka yang lebih tahu kondisi riil di lapangan," katanya lagi.
Dia berpendapat, jika pengusaha sektor hiburan dikejutkan dengan kebijakan kenaikan pajak yang signifikan tentunya harus ada jalan keluar, duduk satu meja, supaya tidak ada dibebani, kepada semua pihak, karena ini demi pertumbuhan ekonomi yang positif.