REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah memperoleh penerimaan dari pos kekayaan negara yang dipisahkan (KND) atau BUMN sebesar Rp 74,1 triliun. Pos tersebut merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNPB).
‘’Ini penerimaan yang lebih tinggi, artinya 150 persen dari yang ditargetkan APBN,’’kata Menkeu dalam konferensi pers APBN Kita edisi November 2023, di Jakarta, Jumat (24/11/2023). Lebih terperinci ia menjelaskan sumber-sumber pemasukan tersebut.
Menurut dia, pemasukan sebanyak Rp 74,1 triliun ke kas negara bersumber dari dividen yang disetorkan oleh BUMN. Terutama dari BUMN yang masih profitable seperti perbankan. Ia menyatakan, ini sangat positif.
Selain itu, terdapat pula setoran dividen dari BUMN nonperbankan yang masih membukukan profit sehingga mereka mampu membayarkan dividen kepada negara. Misalnya, PT Pertamina, PT PLN, dan sebagainya.
Secara keseluruhan, hingga Oktober 2023 jumlah PNBP Rp 494,2 triliun atau 112 persen dari target APBN. Tumbuh 3,7 persen dibandingkan tahun lalu. Kontribusi utamanya dari peningkatan pendapatan sumber daya alam nonmigas, kekayaan negara yang dipisahkan, dan BLU.
Di sisi lain, pemerintah mencatat penerimaan pajak Rp 1.523 triliun per Oktober 2023. Adapun realisasi ini setara 88,69 persen dari target APBN 2023 sebesar Rp 1.818 triliun. ‘’Penerimaan negara masih berada tren positif hingga Oktober 2023,’’ ujar Menkeu. Tercatat, per Oktober 2023 penerimaan negara sebesar Rp 2.240,1 triliun.
"Penerimaan pajak sudah mencapai Rp 1.523 triliun. Ini artinya 88,69 persen dari target APBN tahun ini sudah tercapai di Oktober, tentu kita tetap dorong dua bulan terakhir bagi DJP untuk mencapai target yang sudah ditetapkan" kata Menkeu.
Ia memerinci penerimaan pajak terdiri atas PPh Non Migas naik 6,71 persen menjadi Rp 836,79 triliun, PPN dan PPnBM naik 5,40 persen menjadi Rp 598,18 triliun. PBB dan pajak lainnya Rp 28,74 triliun atau naik 10,72 persen dan PPh Migas Rp 58,99 triliun, turun 13,20 persen.
Angka penerimaan pajak mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Hal itu disebabkan oleh penurunan signifikan harga komoditas, turunnya nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan Program Pengungkapan Sukarela.