Rabu 23 Aug 2023 15:13 WIB

BKF Kemenkeu: Work From Home tak Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi RI

BKF yakin konsumsi masyarakat terjaga meski ada sebagian pekerja WFH.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Pekerja menaiki bus Transjakarta saat jam pulang kerja di kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta, Selasa (2/5/2023) (ilustrasi).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pekerja menaiki bus Transjakarta saat jam pulang kerja di kawasan perkantoran Sudirman, Jakarta, Selasa (2/5/2023) (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut kebijakan kerja dari rumah (work from home/ WFH) tidak akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini merespons kebijakan bagi aparatur sipil negara Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan kerja dari rumah sejak 21 Agustus hingga 21 Oktober 2023.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, penerapan kerja dari rumah sudah pernah dilakukan pada 2021, hasilnya sektor konsumsi mengalami peningkatan cukup signifikan. "Tidak berpengaruh. Terbukti waktu kita 2021 (waktu pandemi), 2022 ekonomi kita jalan sangat baik walaupun mayoritas dari kita malah kerja dari rumah dan konsumsi cukup tinggi. Jadi kita akan cukup aman," ujarnya kepada wartawan, Rabu (23/8/2023).

Baca Juga

Sebelumnya sebanyak 50 persen pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai menerapkan work from home mulai Senin (21/8/2023) sebagai respons terhadap fenomena polusi udara Jakarta yang tengah meningkat. Sementara itu, sektor swasta menyatakan tak sepenuhnya dapat mengikuti kebijakan WFH.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan, tak semua sektor usaha bisa begitu saja menerapkan pola WFH. Terutama, bagi pekerja pabrik yang berada lokasi usaha khusus kegiatan produksi. 

"Apindo berpendapat agar kebijakan ini tidak semata bersifat temporer dan reaktif. Ini disebabkan oleh polusi udara membutuhkan upaya yang lebih berkelanjutan untuk menyelesaikan permasalahan secara holistik," kata Shinta dalam pernyataan resminya, Senin (21/8/2023). 

Shinta sekaligus mendorong agar pemerintah menyusun kajian sumber utama polusi dengan menyertakan dampak ekonomi dan dampak regulasi yang ditimbulkan. Termasuk juga merancang regulasi untuk menargetkan penurunan polusi berdasar kajian tersebut dengan pendekatan holistik dan berkelanjutan dalam menangani polusi udara Jakarta.

Shinta menuturkan, kajian sumber utama polusi diperlukan dengan sejumlah pertimbangan meliputi besaran polusi yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan atau faktor lain.  Misalnya pembakaran sampah oleh masyarakat, dampak kegiatan usaha, atau dari sumber lain di antaranya kondisi musim kemarau dengan rendahnya intensitas hujan yang terjadi beberapa bulan terakhir.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement