Selasa 22 Aug 2023 06:45 WIB

Dolar AS Melemah karena Investor Tunggu Petunjuk Baru

Indeks dolar turun tipis menjadi 103,3100 pada akhir perdagangan.

Karyawan menghitung uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (29/9/2022). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada penutupan perdagangan Kamis (29/9/2022) sebesar 4 poin atau 0,03 persen ke level Rp15.262,50 per dolar AS. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Karyawan menghitung uang dolar AS di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Jakarta, Kamis (29/9/2022). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada penutupan perdagangan Kamis (29/9/2022) sebesar 4 poin atau 0,03 persen ke level Rp15.262,50 per dolar AS. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dolar AS bergerak sedikit lebih rendah terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan pada Senin (21/8/2023). Investor menunggu data PMI S&P pada Rabu (23/8/2023) dan Simposium Ekonomi Jackson Hole pada 24-26 Agustus.

Simposium Ekonomi Jackson Hole akan dihadiri oleh Ketua Federal Reserve Jerome Powell dan Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde yang diharapkan memberikan petunjuk untuk panduan lebih lanjut tentang kebijakan moneter mereka.

Baca Juga

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama saingnnya, turun tipis 0,07 persen menjadi 103,3100 pada akhir perdagangan. Pada akhir perdagangan New York, euro menguat menjadi 1,0898 dolar AS dari 1,0878 dolar AS pada sesi sebelumnya, dan pound Inggris naik menjadi 1,2764 dolar AS dari 1,2740 dolar AS pada sesi sebelumnya.

Dolar AS dibeli 146,0860 yen Jepang, lebih tinggi dari 145,2980 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS turun menjadi 0,8782 franc Swiss dari 0,8824 franc Swiss, dan turun menjadi 1,3543 dolar Kanada dari 1,3545 dolar Kanada. Dolar AS turun menjadi 10,9443 krona Swedia dari 10,9709 krona Swedia.

Inflasi AS kemungkinan akan moderat lebih cepat daripada di tempat lain, terutama zona euro, menurut Tim Editorial UBS.

“Kami pikir The Fed lebih dekat dibandingkan Bank Sentral Eropa dalam mengakhiri siklus kenaikan suku bunganya, namun faktor fundamental jangka panjang tetap menjadi beban bagi mata uang AS,” termasuk valuasi yang mahal, defisit fiskal dan transaksi berjalan ganda, prospek peringkat, serta tingginya alokasi dana-dana di Amerika Serikat, ungkap Tim Editorial UBS.

Laporan Bulanan Buba Jerman menunjukkan bahwa inflasi dapat bertahan lebih lama di atas target bank sentral. Dalam hal ini, risiko inflasi bergerak naik membuat investor memasang taruhan hawkish pada Bank Sentral Eropa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement