REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perindustrian berencana melakukan moratorium investasi baru pada industri semen demi mengatasi kondisi kelebihan suplai produksi semen secara nasional. Lewat moratorium tersebut, diharapkan dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha.
Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin, Ignatius Warsito menjelaskan, kondisi kelebihan kapasitas industri semen terjadi hampir di seluruh wilayah, kecuali Bali-Nusa Tenggara dan Maluku-Papua.
“Persentase overcapacity terbesar terjadi di Jawa, yaitu lebih dari 55,4 persen,” kata Warsito melalui pernyataan tertulis, Sabtu (15/7/2023).
Melihat kondisi tersebut, menurut Warsito, investasi baru pabrik semen sebaiknya tetap diarahkan pada wilayah Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Adapun pengaturan tersebut akan ditinjau kembali jika utilisasi rata-rata nasional telah mencapai 85 persen.
Ia menambahkan, data produksi semen pada semester I 2023 sebesar 29,3 juta ton dengan kebutuhan semen nasional mencapai 28 juta ton. Sementara, produksi semen sepanjang 2022 lebih dari 64 juta ton dengan kebutuhan sekitar 63 juta ton.
“Saat ini, industri semen nasional terdiri dari 15 perusahaan semen terintegrasi yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua, dengan total kapasitas terpasang sebesar 116 juta ton per tahun,” ujarnya.
Sementara itu, untuk kondisi total saat ini industri semen secara nasional masih mengalami overcapacity sebesar 51,8 juta ton atau sebesar 45 persen. Warsito menegaskan, salah satu upaya yang perlu dilakukan oleh industri semen untuk mengatasi kondisi overcapacity saat ini adalah melalui peningkatan ekspor.
Di samping itu, Warsito mengemukakan, kenaikan harga batu bara internasional yang terjadi sejak Desember 2020, memberikan efek yang signifikan bagi industri semen. Tidak hanya mengakibatkan terjadinya kenaikan biaya produksi, namun juga menghambat pasokan batu bara di industri semen.
“Batu bara bagi industri semen merupakan bahan baku dan bahan bakar utama yang memiliki persentase hingga 40 persen dalam struktur biaya produksi,” ujarnya.