REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan usaha mikro kecil menengah (UMKM) harus mau berevolusi dari berteknologi rendah ke UMKM berteknologi tinggi bila ingin masuk ke pasar ekspor yang lebih luas. Teten meminta kepala daerah harus mendorong UMKM terutama skala mikro untuk berevolusi dari UMKM yang berteknologi rendah ke UMKM berteknologi tinggi.
Teten pun mencontohkan UMKM di Korea Selatan yang telah mengusung konsep smart factory. Bermodalkan tempat yang kecil, UMKM telah menggunakan teknologi modern dan manajemen industri untuk menghasilkan produknya dan terhubung ke rantai pasok.
Kalau kita masih diproduksi merangkap dengan dapur keluarga. Pernah ada dari Jepang yang suka keripik tempe dan ingin membawa impor tapi begitu ditujukan produksinya merangkap dengan dapur keluarga yang enggak jadi mereka impor. Ada yang mau impor kerupuk dari Indramayu begitu dikunjungi pabriknya di depannya ada selokan yang bau, bubar," kata Teten dalam Rapat Koordinasi di Medan yang disaksikan secara daring di Jakarta, Senin (29/5/2023).
UMKM di Korea Selatan, contohnya tidak menghasilkan produk final melainkan produk setengah jadi atau hanya memproduksi komponen-komponen untuk industri. Sehingga, meski skala usahanya masih kecil, tidak membutuhkan tenaga ahli dan permesinan yang tidak terlalu banyak.
Tak lupa, ia juga mengingatkan kepala daerah menyeleksi UMKM yang berpotensi untuk di scalling up dan dikembangkan usahanya melalui bantuan teknologi agar produksinya lebih efisien dan modern.
"Kita ingin ke depan supaya UMKM kita itu tidak terpisah dengan kebijakan nasional industrialisasi, ini penting kita pahami semua. Sehingga nanti kalau saya ketemu lagi, saya tidak di sombongkan oleh Bapak Ibu sekalian termasuk Kepala Daerah bahwa yang mikro itu makin bertambah. Sebenarnya ini bukan keberhasilan tapi kegagalan," kata Teten.
Mengutip data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Menteri Teten menyampaikan bahwa setiap tahunnya terdapat 3,5 juta lulusan sekolah hingga perguruan tinggi yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Namun dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekitar 5 persen, hanya mampu menyerap 2 juta orang. Akibatnya, jumlah pengangguran dan pekerja sektor informal meningkat tiap tahunnya.
"Maka kita akan tetap menabung setiap tahun ada sekitar satu setengah juta yang nganggur dan itu yang menjadi beban keluarga kita. Pasti diantara kita ada saudara kita yang nganggur yang kita harus urus, untung sistem sosial kita masih cukup bisa lah mengelola keluarga kita, menolong keluarga kita yang masih nganggur. Ini yang harus kita bangun," ucapnya.
Bank Dunia, lanjutnya, telah mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk segera menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih berkualitas karena lapangan pekerjaan yang disediakan oleh usaha mikro hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tidak terhubung dengan rantai pasok.
"Kalau mikro ini kan ekonomi subsisten, mereka sebenarnya bukan mau usaha menjadi pebisnis tapi karena enggak ada lapangan kerja akhirnya mereka menciptakan usaha sendiri dan ketika bikin usaha sendiri mereka enggak ada tempat konsultasi, enggak ada bimbingan dari pemerintah akhirnya niru-niru, tetangga jualan bakso urat laku ini bikin bakso tahu goreng," sebutnya.