REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 masih mampu menahan lonjakan kuota BBM subsidi. Hanya saja, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan pada 2023 merupakan tahun konsolidasi fiskal.
"Defisit APBN maksimal tiga persen terhadap PDB maka apabila terulang kembali lonjakan volume BBM subsidi seperti pada 2022 sejauh mana kapasitas fiskal 2023 akan menanggung?" kata Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Indef Abra Talattov dalam webinar Indef, Selasa (14/2/2023).
Agar defisit APBN 2023 tidak jebol melebihi tiga persen terhadap PDB, Abra mengatakan pemerintah akan menghadapi beberapa alternatif skenario kebijakan. Skenario pertama yakni pembatasan distribusi BBM dan LPG subsidi.
"Pembatasan distribusi BBM dan LPG subsidi diharapkan dapat menekan kuota minimal 10 persen sehingga defisit APBN dapat dijaga pada level dua persen," ujar Abra.
Dia menilai, penyesuaian harga jual BBM dan LPG minimal tujuh persen akan membantu defisit turun ke bawah tiga persen terhadap PDB. Opsinya, lanjut Abra, adalah kombinasi antara pembatasan distribusi BBM dan LPG serta penyesuaian harga empat persen dapat menurunkan defisit APBN ke bawah tiga persen terhadap PDB.
Abra menambahkan, meskipun tren harga minyak mentah turun namun beberapa skenario harga bisa mencapai 100 dolar per barel bahkan lebih dari 110 dolar per barel. "Kita tentu waspada, ketika ketidakpastian tidak bisa diantisipasi nanti ruang fiskal sejauh mana bisa menahan gejolak." tutur Abra.