REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve atau The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada Rabu (1/2/2023) menjadi kisaran 4,5-4,75 persen. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, Fed untuk selanjutnya diproyeksikan masih akan terus menaikan suku bunganya.
Faisal menilai, tingkat suku bunga The Fed saat ini belum mencapai level tertingginya. "Ini belum tertinggi karena inflasinya sudah pada kisaran lima persen tapi targetnya kan tiga persen," kata Faisal kepada Republika, Kamis (2/2/2023).
Dia menuturkan, sepanjang inflasi di AS belum mendekati tiga persen maka The Fed masih akan meningkatkan suku bunganya. Hal tersebut dilakukan untuk memerangi inflasi agar lebih rendah lagi dengan menaikan tingkat suku bunga.
Terlebih, Faisal mengatakan saat ini lebih susah untuk menekan inflasi karena faktor global cukup berubah. "Ini terutama dari China membuka atau zero covid policy sudah dicabut sehingga permintaan dari China meningkat kembali Walaupun tidak langsung otomatis. Ada sedikit keterlambatan karena di China kasus Covid-19 lagi naik," jelas Faisal.
Meskipun begitu, Faisal melihat pelonggaran yang dilakukan China akan meningkatkan demand secara global. Sebab, kata dia, China banyak melakukan impor dan demandnya paling besar sedunia untuk komoditas utama.
Kondisi tersebut menurutnya akan membuat inflasi global kembali naik dari sisi demand di China. "Dengan demikian, upaya memerangi inflasi akan lebih susah bagi AS kalau kemudian harga barangnya cenderung naik terutama yang diimpor sehingga kecenderungannya The Fed masih akan menaikan tingkat suku bunga," tutur Faisal.
Keputusan The Fed saat ini yang menaikan suku bunga acuan sebesar 25 poin melanjutkan kenaikan sebelumnya. Hanya saja laju kenaikan tersebut terus melambat setelah sebelumnya menaikan 50 basis poin pada Desember 2022 dan pada empat bulan pertemuan sebelumnya sebanyak 75 basis poin.