Kamis 05 Jan 2023 15:02 WIB

Indonesia Diminta Tekan Ongkos Politik untuk Hindari Ini

Setelah jadi investor politik kemudian terjadi gejala oligarki politik.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra (tengah) bersama jajaran komisioner mencoblos surat suara sebagai tanda diluncurkan Hari Pemungutan Suara Pemilu Serentak Tahun 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Senin (14/2/2022). KPU menetapkan Rabu, 14 Februari 2024 sebagai hari dan tanggal untuk pemungutan suara pada Pemilihan Umum Serentak 2024.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra (tengah) bersama jajaran komisioner mencoblos surat suara sebagai tanda diluncurkan Hari Pemungutan Suara Pemilu Serentak Tahun 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Senin (14/2/2022). KPU menetapkan Rabu, 14 Februari 2024 sebagai hari dan tanggal untuk pemungutan suara pada Pemilihan Umum Serentak 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didin S Damanhuri menyebut Indonesia harus bisa menekan ongkos politik. Hal tersebut perlu dilakukan demi menghindari middle income trap.

"Saya kira kalau Indonesia ingin menghindari ini harus melakukan keberanian elit negara ini melakukan political reform dan economic reform," kata Didin dalam diskusi daring Indef Catatan Awal Ekonomi 2023, Kamis (5/1/2023).

Baca Juga

Didin menjelaskan, political reform bisa dilakukan dengan menekan ongkos proses politik. Hal tersebut bisa dilakukan melalui penyederhanaan prosedur kampanye, menghilangkan berbagai pemberian mahar politik, dan berbagai bentuk korupsi politik dalam setiap penentuan calon pilpres, pilkada, pileg.

"Selain itu juga memberikan sanksi berat bukan hanya hukum namun juga finansial, politik, serta sosial," tutur Didin.

Didin menambahkan, upaya tersebut dapat dilakukan dengan merevisi Undang-undang politik. Begitu juga dengan UU lainnya yang menciptakan suburnya oligarki ekonomi dan politik.

Secara akademis, lanjut Didin, embrio adanya oligarki adalah pelaku perburuan rente atau memburu profit supernormal di bidang ekonomi maupun politik. Perburuan rente tersebut melakukan oligopoli dan oligopsoni lalu mengambil keuntungan super dengan melakukan kartelisasi.

 

"Kartelisasi yang menghasilkan akumulasi kapital dari pertumbuhan ekonomi selama reformasi sekitar lima persen lebih itu terakumulasi oleh kelompok 20 persen terkaya. Korbannya adalah 40 persen penduduk paling miskin," jelas Didin.  

Setelah terjadi akumulasi kapital yang luar biasa di kalangan kelompok tersebut, Didin menyebut secara tidak sadar menjadi pelaku oligarki bisnis dan ekonomi. Setelah jadi investor politik kemudian terjadi gejala oligarki politik.

"Terciptalah oligarki ekonomi dan politik lalu terjadi ketimpangan yang sangat buruk," ucap Didin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement