Senin 12 Dec 2022 23:28 WIB

Anggota GAPMMI Sebut Pelabelan BPA AMDK Rugikan Industri

Anggota GAPMMI minta bukti empiris dari BPA yang dinilai sebabkan infertilitas

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Air minum dalam berbagai kemasan, ilustrasi. Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menolak wacana kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan mewajibkan pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang.
Air minum dalam berbagai kemasan, ilustrasi. Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menolak wacana kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan mewajibkan pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menolak wacana kebijakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang akan mewajibkan pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang.

Alasannya, kebijakan ini jelas akan merugikan industri yang memproduksi kemasan ini dan belum adanya bukti empiris bahwa air galon guna ulang ini menyebabkan gangguan kesehatan bagi para konsumen.  

Anggota Gapmmi yang juga pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) DPD Jawa Tengah, Willy Bintoro Chandra mengatakan adanya bahaya kesehatan kemasan galon guna ulang terkesan hanya untuk menakut-nakuti masyarakat saja. “Hal itu terlihat dari semua paparan yang disampaikan BPOM tidak ada bukti empirisnya. Termasuk bukti dari peneliti UGM yang mengatakan bahwa air kemasan ini bisa menyebabkan infertilitas, ini juga tidak ada bukti empirisnya sama sekali,” ujarnya, Senin (12/12/2022).

Menurutnya belum ada bukti sampai saat ini yang menyatakan AMDK galon guna ulang ini telah menyebabkan infertilitas. “Jadi, bagaimana mungkin sesuatu yang belum ada buktinya, ada peneliti yang dengan bangganya bisa menghitung kerugian kesehatan yang disebabkan. Ini kan hanya menakut-nakuti masyarakat namanya dan membuat gaduh saja karena tidak ada buktinya sama sekali,” katanya.

Saat itu, menurut Willy, tidak ada tanggapan sama sekali dari peneliti UGM terkait pertanyaan yang disampaikannya itu. “Dia diam saja waktu itu dan moderatornya hanya menyampaikan semua masukan akan ditampung dan dikaji lagi,” ucapnya.

Willy menyebut ada beberapa jenis kualitas galon guna ulang yang digunakan para industri AMDK yang ada di Indonesia, mulai dari kualitas paling rendah (grade 5) hingga kualitas paling baik (grade 1).  “Jika itu dilakukan di daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa, itu sama sekali nggak bisa jawab. Bisa jadi yang diperiksa BPOM itu galon yang grade 5 atau yang paling murah, galonnya yang rusak saat didaur ulang,” ucapnya.

Karenanya, dia menilai sosialisasi pelabelan BPA galon guna ulang yang dilakukan BPOM di beberapa daerah ini hanya membuang-buang uang  negara saja. “Saya menghormati bahwa BPOM itu pembuat dari regulasi. Tapi, saya minta regulasi yang dibuat itu juga harus berasaskan keadilan. Saya tegaskan saat itu bahwa Aspadin sebagai anggota Gapmmi menolak wacana pelabelan BPA galon guna ulang itu karena ini sangat berbahaya bagi bisnis kami,” ucapnya.

Dia menyampaikan industri tidak keberatan kalau BPOM memang mau memperkecil batas ambang aman migrasi BPA pada galon guna ulang. Tapi, jika yang disasar itu adalah pelabelan BPA-nya, menurutnya, industri pasti akan menolaknya. 

“Saya sampai tekankan dua kali itu saat itu bahwa Aspadin sebagai anggota Gapmmi menolak adanya labelisasi itu. Kalau memang persyaratannya yang mau diperkecil ya monggo, tapi harus jelas besarannya itu berapa. Jadi, jangan yang disasar itu cara pelabelannya seperti yang dilakukan saat ini,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement