REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute (TII) Nuri Resti Chayyani mengatakan perlu adanya langkah antisipatif untuk menghadapi gejolak perang dagang internasional yang dapat berdampak terhadap perekonomian dalam negeri pada tahun depan 2023.
Adapun perang dagang yang dimaksud adalah antara Amerika Serikat (AS) dan China yang juga merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, kata dia pada Senin (12/12/2022)
"Yang masih perlu diantisipasi (pada 2023) adalah adanya gejolak perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang akan mengguncang pertumbuhan ekonomi kita," kata Nuri.
Sebagai informasi perang dagang antara kedua negara tersebut mulai bergejolak kembali sejak tahun 2018. Keduanya berlomba-lomba menaikkan bea masuk impor untuk meningkatkan kinerja neraca perdagangan.
Selain itu, lanjut dia, Indonesia perlu mengantisipasi adanya kemungkinan kenaikan harga pangan dan energi di tingkat global pada 2023, mengingat adanya ketergantungan dalam negeri terhadap beberapa jenis komoditas tersebut.
"Kemudian, (antisipasi) ada kemungkinan kenaikan harga pangan dan energi," kata Nuri.
Lebih lanjut Indonesia, menurut dia, perlu mengantisipasi adanya peningkatan kasus Covid-19, seperti yang mulai terjadi di China, serta risiko perubahan iklim yang membutuhkan alokasi dana dan mitigasi.
Namun demikian dia memperkirakan kinerja perekonomian nasional tahun 2023 masih akan ekspansif seperti pada 2022. Sepanjang tiga triwulan mencatatkan pertumbuhan di atas 5 persen year on year (yoy).
"Apabila dilihat secara tahunan, sepanjang 2022 ini pertumbuhan ekonomi selalu berada di angka 5 persen dibandingkan tahun 2021. Ini merupakan hal yang impresif di tengah kondisi global yang masih tidak kondusif," kata Nuri.
Menurut dia, capaian Indonesia pada 2022 bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain, terutama di regional Asia. Indonesia, lanjutnya mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi di tengah adanya tendensi geopolitik sepanjang tahun 2022.