Ahad 22 Jun 2025 09:15 WIB

Kadin: Perang Iran-Israel Bayangi Arah Ekonomi Global

Presiden Prabowo menegaskan pendekatan ekonomi Indonesia yang tidak ekstrem.

Rep: Muhamamd Nursyamsi/ Red: Satria K Yudha
Ledakan terlihat dari bangunan yang terkena rudal Iran di Tel Aviv, Ahad (15/6/2025).
Foto: AP Photo/Leo Correa
Ledakan terlihat dari bangunan yang terkena rudal Iran di Tel Aviv, Ahad (15/6/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie menilai konflik Iran-Israel menjadi salah satu isu utama yang membayangi arah ekonomi global. Hal itu disampaikan Anin usai menghadiri Saint Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia. Forum tersebut turut dihadiri Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

“Saya lihat jelas sekali konflik Iran-Israel ini menjadi suatu perhatian penuh yang membayangi ekonomi dunia,” ujar Anin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (21/6/2025).

Baca Juga

Menurut Anin, sekitar 40 hingga 50 persen diskusi di SPIEF 2025 membahas ketegangan geopolitik tersebut. Ia menilai konflik Iran-Israel mencerminkan polarisasi antara kekuatan Barat dan Timur yang kian menguat, serta memperkuat arah dunia menuju tatanan multipolar.

“Kelihatan benar-benar polarisasi antara Barat dan Timur. Bagaimana Iran dan Israel bisa memengaruhi bukan saja geopolitik, tapi juga pengentalan multipolar,” ucapnya.

Anin juga menyoroti menguatnya BRICS sebagai kekuatan ekonomi baru. Ia menyebut perluasan keanggotaan BRICS yang kini mencakup sembilan negara tambahan termasuk Indonesia menunjukkan pergeseran kekuatan global. Hal ini semakin terasa di tengah absennya Amerika Serikat dan China dalam beberapa forum multilateral seperti APEC.

“Sekarang BRICS seiring berjalannya waktu, jumlahnya semakin besar. Setengah dari dunia hidup di negara-negara BRICS yang kini sudah menerima sembilan negara baru,” kata Anin.

Anin menambahkan bahwa dalam forum tersebut, Presiden Prabowo menegaskan pendekatan ekonomi Indonesia yang tidak ekstrem. Indonesia tidak sepenuhnya kapitalistik seperti negara-negara Barat maupun sosialis seperti yang identik dengan China. Indonesia memilih pendekatan hibrida demi kesejahteraan bersama.

“Indonesia memilih hybrid di tengah-tengah, sebanyak mungkin orang,” kata Anin.

Ia juga menyinggung program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyasar 80 juta anak dan ibu menyusui. Program ini melibatkan pembangunan 30 ribu dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga menyerap tenaga kerja dan mendorong modernisasi pertanian.

“Kalau satu dapur itu menyerap 50 tenaga kerja, maka seribu dapur sudah menciptakan 50 ribu lapangan kerja. Di sisi lain, terjadi industrialisasi dan modernisasi pertanian,” katanya.

Terkait kerja sama internasional, Anin menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam relasi ekonomi termasuk dalam negosiasi tarif dengan Amerika Serikat. Ia menegaskan Indonesia memiliki posisi tawar karena tersedia berbagai alternatif kemitraan strategis seperti melalui perjanjian IEU-CEPA dengan Uni Eropa.

“Kita juga sebagai negara tidak bisa terlalu diatur-atur, mengingat kita juga punya alternatif. Seperti contohnya dengan adanya IEU-CEPA,” ujar Anin.

Anin menyimpulkan bahwa Indonesia saat ini memegang posisi strategis dalam percaturan global. Ia menyoroti tiga peran penting Indonesia yaitu sebagai satu-satunya negara ASEAN di G20, sebagai negara muslim terbesar di dunia, dan sebagai mitra utama kawasan Indo-Pasifik.

“Itu yang menarik. Indonesia memiliki tiga suara penting, dan itu memberi kita posisi strategis dalam forum-forum internasional,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement