REPUBLIKA.CO.ID, BYDGOSZCZ --
Deru mesin dan denting logam seolah membentuk simfoni masa depan di Bydgoszcz, kota industri di Polandia yang menjadi rumah bagi PESA—produsen kereta api terbesar di negara itu. Di suatu hari yang cerah, kami—beberapai jurnalis dari Indonesia—diajak menyusuri labirin produksi yang menyatukan sejarah, teknologi, dan ambisi global.
Begitu memasuki kompleks industri PESA, aroma logam dan udara sejuk khas Eropa Tengah menyambut kami. Di sinilah, lebih dari 4.000 insinyur dan teknisi merakit kereta. Tak hanya untuk Polandia dan negara tetangganya di Eropa, juga untuk Afrika, dan—kelak mungkin—Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pelopor Kereta Hidrogen
Di sebuah ruangan di area perkantoran, kepala pabrik menjelaskan “bayi baru” mereka: lokomotif hidrogen pertama di Eropa, dan yang kedua di dunia setelah Cina. Bukan sekadar konsep. Kereta ini sudah masuk tahap pengembangan dan sudah melalui uji coba di jalur sepanjang Semenanjung Hel, pesisir Baltik.
“Kami mulai mengembangkan teknologi ini lima tahun lalu,” kata Direktur Sales Internasional PESA, Jon Boncyk, sambil menampilkan lokomotif kereta hidrogen berlabel Hydrogen Shunter. "Target kami, akhir tahun depan sudah bisa meluncurkan prototipe penumpang dengan sistem hidrogen penuh." tambahnya.
Kereta hidrogen buatan PESA bukan hanya transportasi massal bebas emisi. Ia mencerminkan arah baru sektor transportasi: ramah lingkungan, mandiri dari jaringan listrik atas (catenary), dan siap dipakai untuk jalur-jalur terpencil. Namun mereka mengakui kereta berbahan energi hidrogen bukan tanpa keterbatasan. Baterai kereta hidrogen sejauh ini hanya efektif untuk jarak pendek (80–120 km). Bisa menempuh jarak jauh, namun biayanya sangat mahal dan untuk itu dibutuhkan ekosistem, termasuk stasiun pengisian bahan bakar hidrogen
Dari Plat Baja ke Produk Masa Depan
Tur dimulai dari bagian awal produksi. Suara mesin bersahutan. Potongan-potongan baja diangkat lengan robotik dengan presisi nyaris tanpa cela. Lembaran baja ringan dan aluminium, disusun rapi seperti puzzle raksasa, dipotong presisi oleh mesin robotik. Di sinilah kerangka dasar kereta terbentuk. “Kami beralih dari bahan berat ke material ringan demi efisiensi energi,” ujar Boncyk, sambil menunjukkan unit rangka berbobot ringan namun kokoh.
Dari situ, kami dibawa ke area pengelasan otomatis. Lengan robot bergerak cepat menyatukan bagian-bagian kereta. Tidak hanya rangka, kenyamanan penumpang juga diperhatikan. Kami melihat ruang pengujian sistem pendingin yang disesuaikan dengan kondisi iklim ekstrem—dari suhu beku Eropa hingga panas dan kelembaban tropis seperti di Indonesia.
Lebih dari Sekadar Kereta
Dalam tur selama hampir dua jam, kami diajak menyusuri setiap tahap produksi—dari pemotongan baja mentah, pengelasan rangka, pemasangan sistem kelistrikan dan pendingin udara, hingga tahap akhir perakitan. Mereka juga melakukan simulasi suhu ekstrem untuk memastikan pendingin udara tetap bekerja di daerah tropis seperti Asia Tenggara.
"Untuk negara-negara seperti Indonesia, kami sudah mempertimbangkan faktor iklim, kelembaban tinggi, dan isolasi panas. Karena itu kereta kami tidak hanya canggih, juga siap jalan di zona tropis.” tutur Boncyk bersemangat.
Bahkan, PESA mengembangkan kemungkinan kereta dengan tiga jenis tenaga sekaligus—baterai, catenary, dan hidrogen—dalam satu rangkaian, memungkinkan efisiensi maksimal dalam infrastruktur yang belum sepenuhnya terbangun.
Peluang Kerja Sama dengan Indonesia
Indonesia menjadi negara yang sangat diperhitungkan PESA. Dalam wawancara singkat, pihak PESA telah menjalin komunikasi awal dengan Indonesia untuk kemungkinan pengadaan kereta maupun peluang alih teknologi. “Jadi kami pernah dihubungi melalui Kedutaan Besar Anda di Polandia. Kami tertarik untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia,” lanjut Boncyk.
PESA melihat Indonesia adalah pasar besar dengan kebutuhan transportasi tinggi. Karena itu Indonesia punya potensi besar Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan ASEAN dalam program pembangunan kereta antarkota, MRT, hingga kereta regional.
Boncyk menambahkan pihaknya melihat kemungkinan penggunaan teknologi hidrogen untuk masa depan Indonesia. “Jika Indonesia serius membangun ekosistem transportasi hijau, kami siap hadir, tidak hanya dengan kereta, tapi juga pengetahuan dan dukungan teknis,” tambahnya.