Selasa 22 Feb 2022 22:00 WIB

Pengusaha Minta Kebijakan Zero ODOL Ditunda Hingga 2025, Ini Alasannya

penerapan zero ODOL ini akan sulit dilaksanakan pada 2023

Proses pengawasan truk kelebihan muatan dan dimensi di Gerbang Tol Tanjung Priok 1, Senin (9/3).
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Proses pengawasan truk kelebihan muatan dan dimensi di Gerbang Tol Tanjung Priok 1, Senin (9/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan agar kebijakan bebas truk kelebihan muatan dan dimensi (over dimension overload/ODOL) diundur pemberlakuan penuhnya dari semula tahun 2023 menjadi 2025. Hal ini mempertimbangkan kondisi industri nasional yang masih terpukul akibat pandemi Covid-19.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan penerapan zero ODOL ini akan sulit dilaksanakan pada 2023 mendatang. Dia beralasan masa pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian Indonesia mundur.

“Kita tahu semua bahwa perekonomian selama pandemi sangat terpuruk. Karenanya, kami usul kebijakan zero odol ini diundur paling tidak dua tahun atau di Januari 2025,” kata Hariyadi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (22/2/2022).

Hariyadi menegaskan, Apindo mendukung penerapan zero ODOL yang dicanangkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Namun lantaran dunia usaha terpukul pandemi Covid-19, maka pihaknya mengusulkan agar kebijakan zero ODOL ini diundur hingga 2025 mendatang.

Dengan mundurnya batas akhir kebijakan tersebut, kata Hariyadi, ada waktu bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. “Untuk saat ini, tidak mungkin memaksakan sesuatu yang hanya bisa dilakukan dalam kondisi normal,” kata Hariyadi.

Dia mengatakan zero ODOL mempunyai konsep bagus yakni menyesuaikan kondisi daya dukung jalan dengan angkutan truk yang lewat agar biaya perawatan jalan jadi tidak mahal. “Pada prinsipnya dunia usaha mendukung kebijakan itu,” katanya.

Sembari menunggu penundaan kebijakan zero ODOL di 2025, Hariyadi menyarankan pemerintah perlu menyiapkan sejumlah insentif bagi dunia usaha agar kebijakan itu bisa direalisasikan. Hal ini, kata Hariyadi, karena ada alokasi dana cukup besar yang harus dikeluarkan pengusaha untuk peremajaan truk dan investasi truk baru.

Hariyadi meminta Kemenhub dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan insentif bagi industri yang banyak menggunakan truk pengangkut agar harganya bisa kompetitif. Insentif ini baik berupa keringanan pajak untuk pembiayaan pembelian truk baru maupun pembebasan bea masuk (BM).

Selain itu, Hariyadi juga minta ke pemerintah agar memberikan subsidi kepada pelaku usaha yang meremajakan truk lama dan pengadaan truk baru. “Anggaran subsidi ini bisa diambilkan dari pos anggaran pemeliharaan jalan,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung sependapat dengan Hariyadi Sukamdani. Menurutnya, sebaiknya kebijakan zero ODOL diundur hingga 2025 mendatang.

Alasannya, selama ini petani sawit sudah menanggung berbagai beban, mulai pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga beban dari kenaikan harga pupuk yang sangat tinggi.

“Kami petani sawit setuju (truk yang tidak sesuai dengan spesifikasi) itu ditertibkan, tapi tidak sekarang. Minimal kami diberi tenggat waktu hingga 2025 lah. Biarkan dulu geliat ekonomi masyarakat tumbuh,” kata Gulat saat dihubungi.

 

Menurut Gulat, selama berpuluh tahun pemerintah tidak ada ketegasan menertibkan truk yang melebihi spesifikasi, sehingga truk petani sawit rata-rata melebihi spesifikasi yang ditentukan. Dia mengaku banyak truk yang mengangkut tandan buah segar (TBS), spesifikasinya melebihi dari yang ditentukan.

“Ini akan berdampak pada biaya produksi yang akan dihitung oleh pabrik sebagai pengurangan. Misalnya saja, harusnya kami mengantar 7 ton TBS ke pabrik cukup satu trip, tapi dengan kebijakan zero ODOL ini harus dua trip. Ini akan menekan harga TBS di tingkat petani,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement