REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyampaikan, hal yang sangat perlu mendapatkan perhatian serius di dunia ketenagakerjaan saat ini adalah mengenai minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang tercipta, untuk bisa menampung korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kita harus melihat apa yang terjadi di sekeliling kita. Tapi yang paling mengkhawatirkan bukan hanya angka PHK, melainkan apa yang terjadi setelahnya, yaitu tidak cukup banyak lapangan pekerjaan yang tercipta. Ini tantangan terbesar: tidak cukupnya lapangan pekerjaan,” ujar Shinta dalam acara Menuju Satu Dekade Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Dewas BPJS) Menyapa Indonesia bertajuk ‘Indonesia Incorporated, Quovadis: Arah Dunia Usaha di Ujung PHK’ yang digelar di Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, Senin (28/7/2025).
Shinta mengatakan, persoalan PHK atau pemutusan hubungan kerja memang menjadi satu isu yang terus bergulir hingga saat ini. Bahkan untuk urusan angka, data jumlah pekerja yang terkena PHK tidak kompak antara satu kementerian/lembaga, pelaku usaha, dan pekerja hingga pengawas jaminan sosial.
Shinta mengatakan, untuk urusan nominal jumlah pekerja yang terkena PHK saja hingga saat ini angkanya masih tidak seragam, baik diantara pemerintah sendiri di Kementerian/Lembaga, maupun dengan asosiasi. Apindo sendiri tidak memiliki angka yang pasti mengenai data jumlah PHK.
“Kita bisa berdebat soal data dan angka PHK di lapangan. Tapi pada akhirnya, persoalan kita bukan sekedar mencocokkan angka, yang jauh lebih penting adalah bagaimana solusinya, apa yang bisa kita lakukan untuk mencari solusi agar gelombang PHK tidak terus-terus meluas,” jelasnya.
Shinta menuturkan, perlunya bantuan dari berbagai pihak, termasuk para akademisi, ekonom, serta lapisan masyarakat lainnya. Sebab persoalan tersebut merupakan PR bersama. Terlebih, saat ini ada banyak tantangan yang menghantam pertumbuhan ekonomi, yakni perang dagang.
“Dalam situasi tekanan global dan domestik yang semakin kompleks, dunia usaha tetap berkomitmen menjadi mitra pemerintah dan barisan pekerja untuk menjaga stabilitas ekonomi dan ketenagakerjaan nasional,” kata Shinta.
Namun, ia menyebut, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang saling menopang. Apindo sendiri, kata Shinta, menyadari bahwa tantangan tersebut tidak bisa dihadapi dengan pendekatan bisnis semata. Semua pihak dinilai mesti berkolaborasi, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakatnya.
“Dibutuhkan langkah komplit kolaboratif dan berorientasi pada perbaikan fundamental, baik dari sisi efisiensi biaya hingga kepastian usaha,” ujarnya.
Shinta menekankan, ibarat suatu tubuh, dunia usaha adalah otot penggerak yang memberikan dorongan motorik pada sistem, dan menjadi energi yang menggerakkan roda ekonomi, membuka lapangan kerja, menghasilkan barang dan jasa, menciptakan nilai tambah, dan membayar pajak. Tanpa otot yang kuat, ekonomi tidak bisa berjalan secara progresif.
Adapun, pekerja adalah nadi dan darahnya. Pekerja menjalankan proses produksi, memberikan keahlian, kreativitas, dan pergerakan di setiap harinya. Seperti nadi dan darah, pekerja mengalirkan keberlangsungan dan lini produksi ke pelayanan, dari sektor informal ke industri besar. Tanpa nadi dan darah yang sehat dan produktif, sistem akan lesu, dengan kata lain kehidupan ekonomi tidak akan bisa mulai.
Sementara itu, pemerintah adalah tulang punggung dan otoritas berpikir. Seperti tulang punggung, ia menyangga semua elemen, menjaga keseimbangan, stabilitas, dan arah pembangunan. seperti fungsi otak, pemerintah menyediakan struktur dan kerangka kebijakan yang menjadi panduan bagi seluruh pergerakan ekonomi.
“Kalau satu saja melemah, keseluruhan sistem dapat terguncang,” kata Shinta.