REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini pemerintah melalui Kementerian ESDM dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih membahas soal
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang baru. Salah satu isi dari RUPTL yang baru ini adalah perubahan asumsi pertumbuhan dan konsumsi listrik.
Wakil Direktur Utama PLN Dharmawan Prasodjo menjelaskan pada RUPTL sebelumnya asumsi dasar perhitungan pertumbuhan listrik selalu disandarkan pada pertumbuhan ekonomi. Faktanya, sejak 2019 kemarin pertumbuhan listrik tidak seoptimis apa yang diasumsikan.
"Asumsi pertumbuhan listrik itu dulu diperikiran pada angka 2 persen. Padahal realisasinya sekarang asumsi pertumbuhan 2015-2019 itu 0,86. Apalagi covid 0,78 persen," ujar Dharmawan di Komisi VII DPR RI, Kamis (27/5).
Dharmawan juga menjelaskan biasanya pada saat perencanaan RUPTL pertumbuhan listrik itu disandarkan dengan pertumbuhan industri sejak tahun 2015. Padahal, faktanya juga mulai tahun 2018 pertumbuhan listrik itu berkorelasi erat dengan pertumbuhan di sektor pariwisata dan jasa.
"Nah ini dasarnya kita rancang RUPTL kita sudah kalibrasikan harmonisasi realita ini jadi kondisinya elasticity-nya 1 persen aja," ujar Dharmawan.
Oleh karena itu, kata Dharmawan PLN hari ini perlu melakukan renegoisasi dengan para Independent Power Producer (IPP) untuk menggeser jadwal beroperasinya pembangkit listrik. Ia mengatakan sebelumnya target 361 TwH itu bisa tercapai di 2025 mendatang.
"Kontraknya udah terlanjur. Padahal itu baru tercapai 2028. Makanya kami perlu melakukan renegoisasi dengan para IPP untuk bisa menggeser jadwal operasi," ujar Dharmawan.