REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) mewaspadai dampak kenaikan imbal hasil atau yield obligasi Amerika Serikat (US Treasury) terhadap aliran modal asing di Tanah Air. Berdasarkan data Bloomberg, imbal hasil US Treasury memiliki tenor sepuluh tahun sebesar 1,343 persen, sempat mencapai level tertinggi 1,352 persen pada bulan ini, jauh meningkat dibandingkan awal 2021 kisaran 0,92 persen.
Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Yoga Affandi mengatakan imbal hasil yang meningkat dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan portofolio di seluruh negara berkembang termasuk Indonesia.
“Kenaikan imbal hasil obligasi AS sedikit mengganggu pasar keuangan. Ada sedikit financial market sesuatu yang agak mengganggu, yaitu kenaikan yield US Treasury sudah mulai naik, seiring dengan optimisme perbaikan ekonomi di AS, yang diperkirakan yield akan terus meningkat, bisa ganggu keseimbangan portofolio,” ujarnya saat acara webinar Infobank “Harmonisasi Kebijakan Moneter dan Fiskal,” Rabu (24/2).
Namun berdasarkan pengalaman, kata Yoga, kenaikan imbal hasil dinilai sebagai sesuatu yang wajar. Dia pun berharap kenaikannya tidak terlalu drastis pada tahun ini.
“Tapi tentu sebagai kewaspadaan, kita juga akan melihat perkembangan di AS. Apakah bersifat temporer atau permanen, atau digerakkan oleh nominal yield-nya atau real yield. Ini akan memberikan feedback yang berbeda responnya,” ucapnya.
Namun demikian, Bank Indonesia mulai lega karena adanya pernyataan Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, memastikan kebijakan bank sentral AS akan tetap akomodatif dalam beberapa waktu ke depan, sehingga diharapkan dapat mendorong stabilitas nilai tukar rupiah.
“Tapi kami dengar Ketua The Fed Jerome Powell kebijakan akan tetap akomodatif terus berlangsung, sehingga ini melegakan financial emerging market. Ini memberikan window bagi stabilitas nilai tukar emerging market, termasuk Indonesia,” ucapnya.