Kamis 24 Sep 2020 08:08 WIB

Peneliti: Pandemi Perparah Kondisi Pelaku Usaha Pertanian

Pandemi mengakibatkan hasil panen belum terserap secara maksimal.

Petani memanen sayur kubis di Desa Ngadisari, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (5/9). Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berdampak kepada semakin parahnya kondisi pelaku usaha sektor pertanian.
Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Petani memanen sayur kubis di Desa Ngadisari, Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (5/9). Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berdampak kepada semakin parahnya kondisi pelaku usaha sektor pertanian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa pandemi Covid-19 berdampak kepada semakin parahnya kondisi pelaku usaha sektor pertanian. Galuh menilai perlu ada kebijakan memperkuat peran petani.

Hal ini terlihat dari turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) dari awal tahun hingga sempat terperosok ke angka 99,47 di bulan Mei 2020. "Berangsur-angsur NTP mulai mengalami kenaikan, NTP nasional Agustus 2020 sebesar 100,65 atau naik 0,56 persen dibanding NTP bulan sebelumnya," kata Galuh Octavia dalam siaran pers, Kamis (24/9).

Menurut Galuh, pandemi mengakibatkan hasil panen belum terserap secara maksimal di pasaran. Ini juga dapat disebabkan karena berkurangnya pendapatan masyarakat atau karena adanya kebijakan seperti PSBB.

Selain itu, ujar dia, pandemi membuat beberapa sektor tidak dapat beroperasi secara maksimal. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya pendapatan dan menyusutnya tenaga kerja, yang berpotensi akan melemahkan daya beli dan konsumsi masyarakat.

Apalagi, ia mengingatkan bahwa realita saat ini, rantai pasok beras yang panjang seringkali dikaitkan dengan posisi petani yang tidak menguntungkan karena mereka tidak memiliki kuasa untuk harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG).

"Petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker. Selain itu Harga Pokok Pembelian (HPP) yang ditawarkan Bulog sebagai perwakilan pemerintah tidak jarang lebih rendah daripada harga pasar," paparnya.

Ia menegaskan sudah sepatutnya petani mendapatkan posisi yang lebih baik dan mendapatkan keuntungan dari harga jual beras di tingkat konsumen.

Sebelumnya, Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP) mendorong penguatan posisi petani dalam arti luas sebagai aktor utama dalam RUU Cipta Kerja karena sektor ini berperan mendukung pangan sekaligus menyerap tenaga kerja.

“Bukannya tidak perlu investasi tapi sekali lagi investasi menempatkan petani sebagai aktor utama bukan sebagai objek,” kata perwakilan KRKP selaku bagian konsorsium Duta Petani Muda, Widya Hasian Situmeang dalam webinar di Jakarta, Selasa (22/9).

Selain petani menjadi subjek utama, ia juga mendorong lahan pertanian berkelanjutan, reformasi agraria dan transformasi pertanian ekologi. Kemudian, perbaikan sistem pasar yang lebih menguntungkan petani dan pengembangan sistem pangan dengan daya lokal yang lebih beragam.

Menurut dia, dalam beberapa payung hukum yang keberadaannya melindungi petani namun ketika dilebur dalam RUU Cipta Kerja disebut para petani dikhawatirkan tidak memiliki perlindungan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement