REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT. Freeport Indonesia menilai proyek hilirisasi yaitu pabrik pemurnian tembaga merupakan proyek yang tidak ekonomis. Bahkan, kata Tony apabila proyek tersebut tetap berjalan maka akan merugikan perusahaan hingga 10 miliar dolar AS.
Tony menjelaskan, proyek smelter butuh investasi sebesar 3 miliar dolar AS dengan kapasitas 1 juta ton. Harga jual hasil dari permurnian sampai 0,60 dolar AS. Padahal, harga jual di pasar hanya 0,20 dolar AS.
"Jadi itu ada gap 0,40 dolar AS. Gap itu maka menjadi beban perusahaan. Jika dikalikan setahun maka 300 juta dolar AS. Kalau dua puluh tahun ya jadi 5 miliar dolar AS. Tambahin aja sama investasi smleter 3 miliar dolar AS jadi 10 miliar dolar AS," ujar Tony dalam sebuah diskusi akhir pekan.
Menurutnya, yang paling menderita kerugian atas beban tersebut adalah PTFI dan pemegang saham PTFI lainnya, yakni Inalum. Namun, PTFI tetap berkomitmen melanjutkan pembangunan proyek smelter tersebut sesuai dengan ketentuan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI.
Hingga Juli 2020, realisasi pembangunan smelter katoda tembaga PTFI baru mencapai 5,86 persen. Realisasi itu berada di bawah perencanaan yang seharusnya pembangunan telah mencapai 10,5 persen pada Juli 2020.
Sementara itu, pembangunan fasilitas precious metal refinery (PMR), yang pembangunannya terpadu dengan smelter katoda tembaga, juga menunjukkan kemajuan yang lambat. Hingga Juli 2020, dari target rencana pengerjaan 14,29 persen, realisasinya baru mencapai 9,79 persen.
Hingga Juli 2020, PTFI telah menggelontorkan dana investasi pembangunan smelter tersebut hingga 290 juta dolar AS. Biaya modal yang dianggarkan mencapai 3 miliar dolar AS.