REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta meminta, pemerintah memastikan ketersediaan beras hingga akhir tahun. Meluasnya pandemi Covid-19 telah mempengaruhi sektor pertanian dan perdagangan di seluruh dunia akibat implementasi berbagai kebijakan pembatasan.
Di Indonesia, kata dia, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga membuat kinerja sektor pertanian menurun dan hal tersebut memengaruhi ketersediaan pangan di pasar. Pandemi Covid-19 merebak di saat produksi pangan yang melimpah.
Data FAO 2020 menunjukkan, pasokan sereal global mendekati rekor tertinggi karena kondisi cuaca yang bersahabat. FAO memperkirakan produksi beras dunia akan mencapai 509,2 juta ton pada tahun 2020, lebih tinggi 1,7 persen jika dibanding 2019.
"Perkiraan ini menunjukkan pasokan beras global lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan internasional dengan rasio stok terhadap penggunaan 35,3 persen," kata Felippa dalam pernyatan resmi CIPS, diterima Republika.co.id, Selasa (4/8).
Sementara itu, kondisi sebaliknya terjadi di dalam negeri. Dia menuturkan, data Kementerian Pertanian 2020 menunjukkan adanya penurunan jumlah produksi beras pada tahun ini.
bolug
Pada paruh pertama 2020, produksi beras Indonesia diperkirakan hanya mencapai 16,8 juta ton, atau 9,7 persem lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini seakan melanjutkan tren penurunan yang terjadi sejak 2018.
“Selain dampak pandemi, musim kemarau juga perlu diwaspadai dapat memengaruhi ketersediaan beras. Kementerian Pertanian memaksimalkan penghujung musim tanam untuk memanfaatkan musim penghujan yang masih berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini menandakan kondisi iklim yang tak menentu masih menjadi tantangan bagi produksi beras dan komoditas pangan lainnya," ujarnya.
Menurutnya, kekhawatiran itu tidak berlebihan mengingat musim kemarau biasanya hanya menyumbang sekitar 35 persen dari total produksi beras tahunan, berdasarkan data WFP pada 2020.
"Jadi, lanjutnya, walaupun pasokan lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan domestik pada semester pertama dengan surplus 6,4 juta ton, tetap ada kekhawatiran mengenai ketersediaan beras menjelang akhir tahun dan awal tahun depan," ujarnya.
Berdasarkan data BPS, kata dia, Indonesia mengimpor sebanyak 305.274 ton pada 2017. Sementara itu, data WFP 2020 menyebutkan 6,2% pasokan beras domestik berasal dari impor pada 2018.
Seperti diketahui, beras merupakan makanan pokok bagi mayoritas orang Indonesia yang rata-rata mengkonsumsi 96,33 kilogram per tahun per kapita. Itu menjadikan Indonesia salah satu konsumen beras terbesar di dunia.
"Namun fakta itu tidak diikuti oleh regulasi yang berlaku. Walaupun beras merupakan makanan pokok, impor beras dibatasi oleh 54 hambatan non-tarif (Non-Tariff Measures/NTM) yang sebagian besar adalah tindakan Sanitary Phytosanitary untuk menjaga kesehatan, keamanan, dan kualitas (61 persen), diikuti oleh Hambatan Teknis Perdagangan (11 persen)," ujarnya.
Pembatasan utama perdagangan beras di antara NTM ini adalah pembatasan kuantitatif. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan 01/2018, beras hanya dapat diimpor oleh Bulog setelah menerima otorisasi resmi dari Kementerian Perdagangan, yang membutuhkan rapat koordinasi menteri yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian yang melibatkan Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
“Keputusan untuk mengimpor beras harus mempertimbangkan stok beras Bulog, perbedaan harga, dan produksi beras nasional yang diproyeksikan. Prosesnya sendiri lama. Belum lagi Covid-19 yang menyebabkan kapasitas distribusi dan logistik semakin rendah, dapat membuat pemasukan beras menjadi lebih lama,” katanya.