REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, Tirto Kusnadi, menyebut industri farmasi tumbuh negatif di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan data GP Farmasi Indonesia, pertumbuhan industri ini mengalami penurunan hingga minus 1,2 persen.
Menurut Tirto, penurunan kinerja sektor farmasi ini terjadi seiring menurunnya kunjungan pasien non Covid-19 ke fasilitas kesehatan. "Sehingga permintaan obat-obatan menurun drastis hingga 50-60 persen," kata Tirto dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (29/7).
Tirto menambahkan, hal tersebut berdampak pula pada penurunan pemakaian kapasitas dan utilitas produksi yang tidak lebih dari 50 persen selama tiga bulan terakhir. Industri farmasi nasional mampu memproduksi sekitar 90 persen obat untuk kebutuhan pasar dalam negeri.
Rendahnya utilisasi mulai menyebabkan perusahaan farmasi melakukan pengurangan karyawan. Tirto memperkirakan hingga saat ini sudah ada 2.000-3.000 karyawan yang sudah dirumahkan. Total tenaga kerja yang mampu diserap oleh industri farmasi yaitu mencapai 500 ribu-700 ribu karyawan.
Tidak hanya itu, lanjut Tirto, pandemi Covid-19 juga membuat aliran khas perusahaan farmasi terganggu. "Distributor kesulitan melayani fasilitas kesehatan yang masih mempunyai tunggakan pembayaran besar sehingga mengganggu cashflow industri farmasi.
"Total tagihan ke fasilitas kesehatan yang sudah jatuh tempo masih sekitar Rp3 triliun yang belum dibayarkan," tutur Tirto.
Tirto menambahkan, pemesanan fasilitas kesehatan turut mengalami penurunan. Dari total 50 persen yang ditargetkan, pemesanan fasilitas kesehatan hanya mencapai 30-40 persen saja pada semester I 2020.
Di sisi lain, Tirto mengakui, pandemi Covid-19 juga memberikan efek positif bagi industri farmasi. Diantaranya terdapat banyak relaksasi aturan yang sangat membantu industri farmasi. Namun Tirto berharap adanya realisasi pajak untuk R&D di industri farmasi.