REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mengkaji Peraturan OJK Nomor 11 terkait restrukturisasi kredit yang bisa diperpanjang jangka waktunya. OJK menilai para pelaku usaha masih berat untuk pulih setelah terdampak pandemi Covid-19.
“POJK 11 ini (berlaku) satu tahun, kemungkinan kami perpanjang,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso saat hadir dalam peluncuran penjaminan kredit modal kerja bagi korporasi di Jakarta, Rabu (29/7).
Peraturan OJK Nomor 11 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical dampak penyebaran COVID-19 itu diundangkan 16 Maret 2020 dan berlaku hingga 31 Maret 2021. Namun, lanjut dia, OJK mencermati hingga Desember 2020 para pelaku usaha dianggap masih berat untuk pulih dan beroperasi normal.
“Kami akan lihat kira-kira bulan Oktober tahun ini,” imbuhnya.
Ia mengatakan keputusan akan diambil sebelum akhir tahun 2020. Meski pemerintah menggelontorkan sejumlah insentif termasuk penjaminan kredit modal kerja bagi korporasi, namun OJK akan mencermati animo korporasi memanfaatkan insentif ini
“Kami perkirakan korporasi ini butuh waktu untuk bangkit kembali dan akan kami putuskan sebelum akhir tahun POJK 11 ini,” katanya.
OJK mencatat total restrukturisasi yang berikan kepada sektor korporasi hingga saat ini mencapai Rp 449 triliun, lebih besar volumenya dibandingkan nilai restrukturisasi kredit yang diberikan kepada pelaku UMKM mencapai Rp 327 triliun.
Sebelumnya, pemerintah menggelontorkan penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM, kini giliran korporasi padat karya terdampak Covid-19 yang disasar pemerintah. Target realisasi kredit modal kerja yang bisa timbul adalah sebesar Rp 100 triliun hingga 2021 dengan nilai mencapai Rp 10 miliar hingga Rp 1 triliun.
Untuk korporasi yang bergerak di sektor prioritas, pemerintah akan menjamin kredit modal kerja hingga 80 persen dan sisanya ditanggung perbankan. Sedangkan untuk sektor non prioritas, pemerintah akan menjamin 60 persen dan perbankan sebesar 40 persen.
Sektor prioritas itu yakni pariwisata, otomotif, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, elektronik, kayu olahan dan furnitur, produk kertas dan korporasi yang memenuhi kriteria terdampak Covid-19 dan padat karya.