REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) saat ini sudah memperbolehkan maskapai mengangkut penumpang dengan okupansi 70 persen saat pandemi Covid-19 masih berlangsung. Hanya saja, kebijakan tersebut tampaknya dianggap belum bisa menjadi solusi untuk menghidupkan kembali industri penerbangan dan pariwisata.
“Jadi kalau membantu, iya ini (kebijakan okupansi 70 persen) membantu. Tapi apakah ini bisa menjadi solusi untuk industri pariwisata dan penerbangan, belum. Masih jauh,” kata pengamat penerbangan Gerry Soejatman dalam diskusi virtual, Kamis (18/6).
Sebab, lanjut Gerry, saat ini maskapai belum beroperasi dengan frekuensi penerbangan yang maksimal. Untuk itu, okupansi 70 persen tersebut menurutrnya jangan terlalu diharapkan karena frekuensi penerbangan masih sedikit.
“Misal dari Jakarta ke Bali masih hanya 2 penerbangan sehari, bisanya bisa belasan dalam sehari,” ujar Gerry.
Selain itu, Gerry menuturkan syarat perjalanan domestik atau internasional juga hingga saat ini masih ribet. Dia menyayangkan bahkan kerap terjadi ketidaksesuaian syarat perjalanan untuk di dalam begeri.
“Misal pemerintah bilang bisa hanya dengan rapid test. Tapi pemerintah di daerah bilang di daerah tertentu harus swab test. Nah ini jadi kendala,” tutur Gerry.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini pemerintah dari setiap lintas sektor membahas bersama mengenai kelangsungan operasional transportasi. Termasuk mengenai tarif dan okupansi penumpang yang perlu diatur selama pandemi.
“Sebagai contoh tidak mungkin Kementerian Kesehatan sendiri, kami Kementerian Perhubungan sendiri, hirarki ada gugus tugas. Waktu sama saya bahas tarif dan data-data transportasi,” kata Budi dalam diskusi terbuka secara virtual yang diselenggarakan Universitas Bina Nusantara, Selasa (16/6).
Budi menjelaskan, Kemenhub bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga mulai memetakan apa yang terjadi dalam sektor perhubungan. Termasuk mengenai okupansi di setiap moda yang bisa membuat setiap perusahan transportasi dapat bertahan selama pandemi.
"Dengan okupansi turun, sektor perhubungan turun. Tetapi kita harus memperhatikan protokol kesehatan. Tidak ada alasan untuk melemahlan sektor kesehatan," ujar Budi.
Di sisi lain, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menegaskan saat ini lebih memilih untuk fokus dari waktu ke waktu untuk mengupayakan masyarakat mau menggunakan transportasi udara. Irfan juga menegaskan Garuda tidak akan bersikeras meminta pemerintah untuk menaikan kembali kapasitas angkut pesawat yang saat ini sudah dinaikan dari 50 persen menjadi 70 persen.
“Saya sampaikan ke teman-teman dipenerbangan, jangan ngotot 100 persen lah. Ini bukan tentang kita dengan teman-teman Kemenhub. Bgitu ini krisis lalu dinaikan menjadi 100 persen, lalu dempet-dempetan di pesawat, yang terjadi masyarakat tidak percaya diri dengan transportasi udara,” jelas Irfan.
Jika kepercayaan diri masyarakat menggunakan pesawat tidak kembali, Irfan menuturkan hal tersebut akan menghambat pemulihan industri penerbangan. Terlebih, menurut Irfan, banyak analis yang memprediksi pemulihan industri penerbangan setelah terdampak pandemi Covid-19 bisa mencapai dua hingga tiga tahun.
Irfan menegaskan, survival mode yang saat ini tengah dilakukan maskapai tidak bisa berlangsung dalam waktu lama jika pemulihan terkendala. “Ini bisa mati suri kalau lama-lama. Kalau masyarakat menuntur berjaga jarak, baik kita jalankan. Kaalau pemerintah dan masyarakat sepakat dan memperbolehkan kenaikan tarif, ya kita naikin,” ungkap Irfan.