REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Indonesia Japan Business Network (IJB-Net) Suyoto Rais mengatakan perlu pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi untuk meningkatkan kualitas pascatangkap perikanan untuk komoditi potensial ekspor ke Jepang.
"Kita bisa mengembangkan sumber daya alam Indonesia atau meningkatkan produk Indonesia untuk bisa diekspor ke Jepang dan ternyata kita perlu dukungan teknologi, dukungan finansial dan sumber daya manusia," kata Suyoto dalam webinar Teknologi dan Inovasi Indonesia Hadapi Covid 19, Jakarta, Selasa (19/5).
Jepang menjadi pasar potensial karena bagaimana pun Jepang masih mitra dagang utama Indonesia dan tujuan ekspor utama Indonesia."Indonesia sebenarnya bisa jadi mitra utama pemasok kebutuhan Jepang," tutur Suyoto. Tuna dan sidat merupakan bagian dari komoditi impor Jepang.
Untuk tuna, kebutuhan Jepang hampir 400 ribu ton per tahun, yang mana separuh lebih diimpor dari negara lain. "Sayangnya kita hanya bisa ekspor ke jepang itu sekitar 6.000 ton saja atau 3 persen dari jumlah impor atau 1,5 persen dari total kebutuhan Jepang," tuturnya.
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di dunia yang mana setiap tahun bisa menghasilkan 375 ribu ton. "Kita harus bisa menangani pascatangkap dengan baik agar bisa ekspor ke Jepang," ujar Suyoto.
Di Jepang, begitu ikan ditangkap langsung dibersihkan dan dibuang bagian seperti insang, paru-paru dan darah, lalu dibekukan. Sebaliknya, di Indonesia proses itu baru dilakukan setelah mendarat.
"Itu membuat Jepang itu tidak mau menerima ekspor dari Indonesia dalam keadaan beku," ujar Suyoto.
Indonesia sudah bisa memasok produk ayam halal ke Jepang. April 2018, untuk pertama kalinya produk olahan daging ayam halal dari Indonesia berhasil masuk ke Jepang. Masih ada tantangan untuk teknologi pasca panen dan ekonomi kreatif, karena Jepang juga menyukai buah, sayuran dan aksesoris.