Senin 24 Feb 2020 10:35 WIB

Kadin: Keluar dari Negara Berkembang tak Ganggu GSP

Keputusan keberlanjutan fasilitas GSP tinggal menunggu hasil review eligibility.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan, Indonesia masih berpotensi mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat (AS) meskipun sudah dikeluarkan dari daftar negara berkembang.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan, Indonesia masih berpotensi mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat (AS) meskipun sudah dikeluarkan dari daftar negara berkembang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyebutkan, Indonesia masih berpotensi mendapatkan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat (AS). Shinta menyebutkan, kebijakan Kantor Perwakilan Perdagangan atau Office of the US Trade Representative (USTR) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang hanya berlaku untuk status di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

"Jadi, tidak ada pengaruh kepada GSP," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (24/2). 

GSP merupakan program unilateral Pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk ke pasar negara tersebut kepada 121 negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Sebelumnya, Shinta sempat mengatakan, kebijakan pemerintah AS untuk tidak lagi menganggap Indonesia sebagai negara berkembang berpotensi berdampak pada GSP untuk produk ekspor Indonesia. Tapi, kini pihaknya sudah mendapatkan klarifikasi dari USTR bahwa kebijakan tersebut tidak sampai mengganggu fasilitas GSP. 

Saat ini, Shinta menjelaskan, keputusan keberlanjutan fasilitas GSP tinggal menunggu hasil review eligibility. Diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan tengah menyusun kajian ini dan ditargetkan rampung pada awal tahun 2020. 

Terkait kebijakan USTR, Shinta mengaku belum dapat memastikan dampaknya terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Sebab, masih belum ada perubahan mengingat belum ada pengumuman lebih lanjut dari pihak AS terkait GSP. 

"Ataupun terkait pengajuan penyelidikan subsidi baru terhadap produk asal Indonesia," ujarnya. 

Saat ini, penyelidikan subsidi yang sudah berjalan adalah kasus anti-dumping (AD) and countervailing duties (CVD) case pada coated & uncoated paper serta biodiesel asal Indonesia. Dari kedua kasus ini, Shinta mencatat, Indonesia sudah mengalami kerugian dalam bentuk penurunan kinerja ekspor. Dari sebelumnya bisa mencapai lebih dari 100 juta dolar AS pada 2015, kini nilai ekspornya menjadi sekitar jutaan hanya karena kasus CVD/AD terhadap coated-uncoated paper asal Indonesia.

Untuk kasus biodiesel, Indonesia kehilangan kinerja ekspor biodiesel ke AS sebesar 255 juta dolar AS. "Kerugian ini sejak kasus CVD/AD dengan AS di 2017," ucap Shinta. 

Ke depannya, Shinta mengatakan, bentuk kerugian seperti ini bisa terjadi kapan saja untuk produk Indonesia yang masih diekspor ke Indonesia. Tapi, ia belum dapat memprediksinya lebih detail.

Sebelumnya, USTR mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang. Amerika juga mengeluarkan beberapa negara anggota G20 dari daftar seperti Argentina, Indonesia, Brazil, India, dan Afrika Selatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement