Jumat 31 Oct 2025 02:17 WIB

Pasca Pandemi, Negara Berkembang Perkuat Aliansi Vaksin di DCVMN 2025

DCVMN mengangkat tema Advancing Innovation and Building a Resilient Vaccine

Pertemuan tahunan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) resmi dibuka di Sanur, Bali, Rabu (29/10/2025). Forum yang berlangsung hingga 31 Oktober 2025 ini mempertemukan lebih dari 420 peserta dari 46 produsen vaksin di 17 negara berkembang, bersama organisasi global seperti WHO, UNICEF, Gavi, CEPI, hingga Gates Foundation.
Foto: dok istimewa
Pertemuan tahunan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) resmi dibuka di Sanur, Bali, Rabu (29/10/2025). Forum yang berlangsung hingga 31 Oktober 2025 ini mempertemukan lebih dari 420 peserta dari 46 produsen vaksin di 17 negara berkembang, bersama organisasi global seperti WHO, UNICEF, Gavi, CEPI, hingga Gates Foundation.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Pertemuan tahunan Developing Countries Vaccine Manufacturers Network (DCVMN) resmi dibuka di Sanur, Bali, Rabu (29/10/2025). Forum yang berlangsung hingga 31 Oktober 2025 ini mempertemukan lebih dari 420 peserta dari 46 produsen vaksin di 17 negara berkembang, bersama organisasi global seperti WHO, UNICEF, Gavi, CEPI, hingga Gates Foundation.

Acara yang digelar di The Meru, Sanur ini turut melibatkan regulator, akademisi, industri farmasi global, dan mitra filantropi untuk membahas penguatan inovasi vaksin dan kemandirian produksi di negara berkembang. Tahun ini, DCVMN mengangkat tema “Advancing Innovation and Building a Resilient Vaccine Ecosystem for a Safer World.” Bio Farma menjadi co-host penyelenggaraan forum.

RI Tekankan Kedaulatan Kesehatan

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, dalam sambutan virtual menegaskan peran strategis negara berkembang dalam masa depan ekosistem vaksin global. Ia menyebut DCVMN menjadi motor penting saat pandemi COVID-19, ketika akses vaksin menjadi isu ketimpangan global.

“Negara berkembang memiliki potensi besar sekaligus menjadi kunci masa depan industri vaksin. Memperkuat manufaktur di kawasan ini berarti memperkuat rantai pasok dan menciptakan nilai jangka panjang,” kata Budi.

Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Saksono Harbuwono, menyoroti pentingnya riset, inovasi, dan kolaborasi lintas negara. Ia menyinggung penguatan pusat riset nasional seperti Vaccine Collaborating Centre (VOLARE) dan kehadiran sekretariat riset vaksin genetik Indonesia-China di Kura-Kura Bali.

“Melalui DCVMN mari kita dorong inovasi dan kolaborasi yang lebih dalam. Indonesia memperkuat R&D dan berpartisipasi dalam uji klinis global TB dan malaria demi kedaulatan kesehatan,” ujar Dante.

Sebagai salah satu produsen vaksin terbesar dunia, Bio Farma menyampaikan tantangan industri vaksin negara berkembang di tengah pengetatan standar global dan penurunan pendanaan donor. Direktur Utama Bio Farma, Shadiq Akasya, menegaskan pentingnya kolaborasi multilateral agar keberlanjutan industri vaksin tetap terjaga.

“Kita memerlukan pendekatan collaborative problem-solving untuk melindungi kesehatan publik sekaligus menjaga keberlanjutan industri,” ujarnya.

Shadiq menekankan perlunya model shared responsibility, di mana risiko dan biaya dibagi secara adil antar pemangku kepentingan global. Bio Farma sendiri telah memasok vaksin ke lebih dari 150 negara dan memiliki 12 produk berstatus pra-kualifikasi WHO.

CEO DCVMN, Rajinder Suri, menilai forum ini krusial untuk menghadapi tantangan kesehatan global pascapandemi. Ia menyebut teknologi baru, kecerdasan buatan, dan mekanisme pembiayaan inovatif akan jadi fokus pembahasan.

“Inovasi berada di inti DCVMN. Kita berkumpul untuk mengevaluasi agenda imunisasi, mendiskusikan strategi, dan menetapkan rencana aksi dalam lingkungan geopolitik yang terus berubah,” ujar Suri.

Menurut Suri, kerja sama lintas regulator, industri, akademisi, dan sektor filantropi menjadi kunci untuk memastikan akses imunisasi yang adil dan tepat waktu bagi semua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement