REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto menegaskan, bauran kebijakan ekonomi yang telah ditempuh Bank Indonesia tidak cukup untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tengah adanya resesi ekonomi global. Butuh dukungan kebijakan fiskal yang lebih konkret untuk bisa menjaga memomentum pertumbuhan ekonomi domestik.
"Sikap BI sudah pro pertumbuhan, tapi moneter saja tidak cukup. Perlu bantuan fiskal untuk menghambat potensi resesi," kata Ryan dalam Pelatihan Wartawan Bank Indonesia di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (9/12).
Ia menegaskan, di tengah situasi saat ini, perlu ada perubahan kebijakan ekonomi yang benar-benar pro pertumbuhan. Setidaknya, meminimalisasi keberlanjutan stagnasi ekonomi Indonesia yang sedang terjadi. Bauran kebijakan fiskal dan moneter harus kompak dan akomodatif.
BI, menurut Ryan, telah menurunkan suku bunga acuan BI 7-DRRR dari semula 6 persen menjadi 5 persen. Penuruan itu menunjukkan bahwa otoritas moneter lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sebab, dengan suku bunga acuan yang lebih rendah suku bunga kredit lebih rendah dan berdampak pada peningkatan ekspansi sektor korporasi dengan pembiayaan kredit.
Adapun, kebijakan fiskal yang dinanti adalah implementasi insentif berbagai perpajakan serta insentif super deductible tax untuk kegiatan riset dan penelitian. Ryan menuturkan, para pengusaha saat ini menunggu kepastian pemberian insentif tersebut baru memiliki kepercayaan untuk melakukan ekspansi.
"Ini yang dibutuhkan. Insentif itu harus riil agar pengusaha tidak menunggu-nunggu terus. Akan tidak baik kalau terlalu lama menunggu, jangan sampai negara tetangga yang memanfaatkan proses penantian ini," kata Ryan.
Ryan menegaskan, situasi perekonomian saat ini yang stabil di 5 persen merupakan kapasitas optimal yang bisa didapatkan Indonesia. Pertumbuhan yang diperoleh saat ini mayoritas disumbang oleh konsumsi riil rumah tangga.
Oleh sebab itu, jika kebijakan moneter dan fiskal menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi, basis pertumbuhan bisa meningkat sesuai yang diharapkan pemerintah.
Adapun pada 2020, Ryan memandang bahwa akan ada perbaikan pertumbuhan didorong oleh kebijakan Omnibus Law terkait penciptaan lapangan pekerjaan dan perpajakan. Dua kebijakan yang menyatukan puluhan perundang-undangan itu diharapkan bisa secara langsung memberikan sentimen positif bagi seluruh pelaku ekonomi.
"Ini akan menjadi sentimen positif untuk menggiring ekonomi Indonesia dari sektor riil dan juga investasi langsung," katanya.