Senin 25 Nov 2019 06:37 WIB

Manulife Prediksi Pasar Keuangan Positif Hingga Akhir Tahun

Kekhawatiran terhadap resesi ekonomi global berkurang jadi sentimen positif pasar.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Petugas memantau grafik pergerakan penjualan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Dealing Room Divisi Tresuri BNI, Jakarta, Jumat (27/9/2019).
Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Petugas memantau grafik pergerakan penjualan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Dealing Room Divisi Tresuri BNI, Jakarta, Jumat (27/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang 2019 pasar finansial global bergerak sangat fluktuatif. Hal ini didorong oleh banyaknya sentimen negatif yang memengaruhi pasar pada tahun ini. 

Menurut Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Dimas Ardhinugraha, adanya kekhawatiran mengenai resesi global dan eskalasi konflik dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China terus membayangi kinerja pasar tahun ini. 

Baca Juga

"Namun memasuki pengujung 2019, kita melihat adanya perkembangan yang lebih positif dari sentimen pasar," ujarnya di Jakarta, Senin (25/11).

Dimas menjelaskan ada beberapa poin yang mendorong optimisme pasar pada akhir tahun ini. Pertama, berkurangnya kekhawatiran terhadap resesi ekonomi global. Saat ini pasar menjadi lebih optimistis ekonomi global tidak memasuki zona resesi. 

Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi 2019 akan turun ke level tiga persen dibandingkan pertumbuhan pada 2018 yang berada pasa level 3,6 persen. Pada 2020, IMF memperkirakan ekonomi global akan membaik ke level 3,4 persen didukung oleh penurunan suku bunga Bank Sentral secara global. 

Kedua,  optimisme pasar muncul dari perkembangan positif negosiasi dagang antara AS dengan China. "Kalau kita lihat, akhir-akhir ini kedua negara mulai menunjukkan sikap yang lebih akomodatif akan terjadinya kesepakatan dagang antara AS dengan China, baik AS maupun China mengindikasikan kalau kesepakatan dagang fase pertama dapat saja terjadi akhir tahun ini," ucapnya.

Menurutnya kedua negara membutuhkan kesepakatan dagang ini. Sebab pihak AS maupun China sudah merasakan dampak negatif dari perang dagang yang terjadi, terlihat pertumbuhan ekonomi kedua negara cukup melemah tahun ini. 

Ketiga, optimisme pasar karena memasuki era suku bunga rendah guna mendukung pertumbuhan ekonomi global. Beberapa bank sentral dunia sudah sudah menurunkan tingkat suku bunga. 

"Kita lihat baru-baru ini, The Fed mengumumkan kalau suku bunga di AS akan jaga pada level rendah dan belum ada rencana untuk dinaikkan, kecuali jika inflasi di AS meningkat," ucapnya.

Tidak hanya di AS, beberapa negara secara global juga serentak menurunkan suku bunga, dengan outlook akan tetap menjaga suku bunga pada level yang rendah. Menurutnya langkah tersebut merupakan hal yang positif karena mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga akan menguntungkan bagi pasar negara berkembang. 

"Dengan suku bunga yang rendah di pasar negara maju, investor secara global akan mencari tingkat suku bunga yang lebih menarik di negara berkembang, termasuk salah satunya di Indonesia," ucapnya.

Keempat adanya kestabilan kondisi politik dan harapan reformasi kebijakan. Jadi sepanjang tahun ini, pasar domestik dibayangi ketidakpastian politik dengan adanya pemilu presiden di pertengahan tahun. 

"Bagi pasar finansial, harapannya adalah semua janji-janji pemerintah yang sudah dijanjikan dapat dieksekusi dengan baik, sehingga dapat menarik minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia," jelasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement