REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Sebagai negara ekonomi terbesar kedua di dunia, China bukan berarti tidak memiliki utang sama sekali. Meskipun beberapa bank di China bersaing memberikan kredit investasi, ada sejumlah perusahaan yang justru tidak mendapatkan akses perbankan sama sekali.
Perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya mendapatkan pinjaman lunak dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk bisa berproduksi. Sekilas sama bentuknya dengan pinjaman ADB yang diberikan kepada sejumlah negara anggota, termasuk Indonesia.
Bedanya, di China ada I&G yaitu China National Investment and Guaranty Corporation sebagai lembaga bentukan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC) atau semacam Bappenas yang bertugas sebagai penjamin pinjaman ADB.
ADB bersama I&G memberikan pinjaman bersyarat yakni perusahaan penerima wajib mengurangi emisi karbon secara berkelanjutan, mengingat China merupakan salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Di China, emisi karbon banyak dihasilkan oleh industri yang berpusat di wilayah utara, timur laut, dan utara.
Ada delapan provinsi dan kota setingkat provinsi yang menjadi penyumbang polusi terbesar terhadap negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu, yakni Lioning, Mongolia Dalam, Beijing, Tianjin, Hebei, Henan, Shanxi, dan Shandong.
Kedelapan provinsi dan kota itu menyumbangkan sepertiga PDB China, namun juga masuk sebagai sepuluh besar wilayah dengan tingkat polusi tertinggi.
ADB masuk ke delapan wilayah industri berat itu dengan menyalurkan pinjaman lunak senilai 2,8 miliar dolar AS selama 2015-2020. "Selain itu ADB juga mengadvokasi perusahaan lokal agar tidak terjerat utang berkepanjangan sekaligus menjaga langit di kawasan agar tetap biru," ujar Direktur I&G untuk Program ADB Duan Xiumei.
Reduksi
Dalam kunjungan ke Provinsi Liaoning dan Provinsi Mongolia Dalam (wilayah otonomi setingkat provinsi di China), akhir Oktober 2019, tim evaluasi ADB yang dikomandani Karen Lane dari Departemen Komunikasi menyatakan kepuasannya atas hasil yang dicapai.
"Bagus. Mungkin bisa dipraktikkan di Indonesia," ucap mantan jurnalis Wall Street Journal dan Dow Jones Newswire berkewarganegaraan Inggris itu kepada Antara yang menyertai kunjungan tersebut.
Selama empat hari di kedua provinsi di wilayah timur laut China itu, Karen yang didampingi Spesialis Senior Lingkungan Divisi Asia Timur ADB,Zhou Yun dan pejabat senior Hubungan Eksternal China ADB, Kan Lei melihat langsung beberapa industri yang mendapatkan pinjaman lunak tersebut.
Di Diaobingshan yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Liaoning di Shenyang, ADB memberikan modal senilai 300 juta yuan atau sekitar Rp 596 miliar kepada perusahaan SDIC Biological Technology Co Ltd.
Kredit yang jatuh tempo dalam waktu dua tahun terhitung sejak 2018 itu digunakan SDIC untuk memproduksi etanol berbahan baku jagung. "Meskipun ada sokongan dana dari pemerintah pusat, kami masih butuh pinjaman dari ADB agar bisa terus berproduksi," kata Manajer Keuangan SDIC Yang Dong.
Perusahaan yang mempekerjakan sekitar 150 karyawan itu memproduksi 306.000 ton bahan bakar hayati etanol, 276.300 ton untuk pakan ternak, dan 20.000 ton berupa minyak jagung per tahun.
"Semua produk kami berbahan baku utama dari jagung. Selain etanol, bahan baku jagung bisa menghasilkan produk turunan lainnya sehingga ada nilai tambah," ujarnya sambil menunjukkan sampel produk-produk tersebut di ruang kendali
Bahan bakar hayati etanol mudah didapat di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Diaobingshan dengan harga eceran 6,6 yuan atau sekitar Rp 13 ribu per liter. "Setiap hari kami bisa menjual 8 ton etanol," kata Weiyu Li selaku manajer SPBU Renmin Lu Diaobingshan di sela-sela memantau antrean kendaraan bermotor yang hendak membeli etanol.
Dari Liaoning, tim ADB yang juga disertai koleganya dari I&G, terbang menuju Kota Ulanhot di utara Provinsi Mongolia Dalam yang berbatasan langsung dengan Provinsi Heilongjiang.
Dari pusat kota butuh waktu perjalanan sekitar satu jam untuk mencapai Desa Xingfu. Di desa itu tim bertemu Bao Tianxi, petani berusia 39 tahun.
Tim terkagum-kagum saat pria itu menyebutkan keuntungan bersih hingga 3 juta yuan atau sekitar Rp 5,9 miliar per tahun, hanya dengan mengumpulkan jerami dari para petani.
"Waktu menjadi petani padi dulu, saya hanya bisa meraih pendapatan 100 ribu yuan (Rp 198,8 juta) per tahun," tuturnya.
Jerami tersebut dikumpulkan dari 4.000 petani di kabupaten yang berjarak sekitar 1.250 kilometer dari Ibu Kota Provinsi Mongolia Dalam di Hohhot itu.
Dengan menggunakan alat pemotong dan penggulung, jerami petani yang sudah berbentuk gelondongan dipadatkan menjadi semacam tablet di pabrik penggilingan milik keluarga Bao di Desa Xingfu kemudian jerami tersebut disetorkan ke pabrik pengolahan pupuk organik Biochar di pinggiran Ulanhot.
Menariknya, para petani yang menjual atau menyetorkan jerami kepada Bao mendapatkan potongan harga pembelian pupuk organik sebesar 20 persen. "Mereka ini tidak membakar jerami di tengah sawah, tapi diolah dengan cara di'press' dan digiling menjadi tablet. Selanjutnya dijadikan arang di pabrik yang lebih besar lagi sebelum menjadi pupuk organik, baik dalam bentuk padat maupun cair," tutur Zhou Yun.
Sejurus kemudian dia mengeluarkan data tentang konsentrasi utama polusi di kedelapan wilayah yang menjadi target ADB. Zhou tampak puas melihat pencapaian Mongolia Dalam untuk mengurangi emisi karbon dengan tingkat penurunan sebesar 24 persen untuk kadar PM2,5; 9 persen (PM10); 39 persen (SO2); dan 8 persen (NO2).
Demikian pula dengan di Liaoning yang menunjukkan perkembangan positif dengan adanya penurunan 31 persen (PM2,5); 26 persen (PM10); 18 persen (SO2); dan 9 persen (NO2). "China sangat penting bagi perekonomian dunia. Kami tahu pemerintah China juga berjuang keras menurunkan emisi karbon. Kami ingin belajar dari pengalaman yang sangat berharga ini," tutur Karen.