Selasa 01 Oct 2019 13:30 WIB

SDM BPJPH Dinilai Minim Pengetahuan Soal Sertifikasi Halal

Industri makanan minuman menjadi yang pertama dikenakan kewajiban sertifikasi halal.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.
Foto: Republika/Andi Nur Aminah
Formulir Sertifikasi Halal ke LPPOM MUI agar suatu produk mendapatkan sertifikat halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pelaku usaha khusus makanan dan minuman (mamin) mulai menyambut 17 Oktober 2019 terkait kewajiban sertifikasi halal. Adapun kewajiban ini seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Sertifikasi ini mencakup bahan baku, lokasi, tempat dan alat dalam penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian produk. Industri makanan dan minuman menjadi yang pertama dikenakan kewajiban ini karena dinilai paling siap dan berkenaan langsung dengan masyarakat. Adapun produk kosmetika dan farmasi akan menyusul.

Baca Juga

Namun hingga kini, kesiapan pemerintah masih diragukan baik dari sisi infrastruktur maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thoyyiban (LPH-KHT) PP Muhammadiyah sampai saat ini belum ada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang diakui, sehingga setelah 17 Oktober nanti yang sudah pasti hanya LPH Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM).

“Jika Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) jujur maka proses transisi tidak berjalan dengan baik untuk menghasilkan LPH. Jadi selama 3 tahun terakhir ini sudah banyak dana yang keluar tapi belum ada satupun LPH yg diresmikan. Jadi dari segi biaya BPJPH tidak efisien dan juga tidak efektif melakukan masa transisi dari MUI ke BPJPH,” ujar Direktur Utama LPH-KHT PP Muhammadiyah Nadratuzzaman Hosen ketika dihubungi Republika, Selasa (1/10).

Nadratuzzaman menyebut selama ini pimpinan BPJPH memilih untuk tidak meneruskan sistem audit dan aturan audit yang dikembangkan oleh MUI. Alhasil, terdapat sumber ketidakberhasilan BPJPH mengambil alih sistem sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH

“Ini karena memang pejabat eselon 1 dan 2 di BPJPH tidak pernah terlibat sertifikasi halal MUI sebelumnya. Maka pejabat eselon 1 dan 2 diganti. Tanpa diganti perannya tidak akan maksimal, penggantinya haruslah orang profesional yang mengerti sertifikasi halal,” ucapnya.

Di sisi lain, Nadratuzzaman menyebut ketidakberhasilan BPJPH membuat titik kritis menyusun rancangan peraturan Menteri Agama (RPMA). Sebab, pejabat BPJPH tidak mempunyai pengalaman menangani sertifikasi halal, sehingga penyusunan RPMA sampai saat ini belum dikeluarkan menjadi PMA

“Persoalannya apakah wajib sertifikat halal terus dilaksanakan sesuai dengan UU JPH atau ditunda pelaksanaannya, sehingga dikeluarkan Perpu, kita belum tahu. Namun BPJPH sampai saat ini tetap optimis bahwa wajib sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019 tetap berjalan,” ucapnya.

Diharapkan, ketidakpastian tersebut menimbulkan kegaduhan bagi masyarakat pengusaha khususnya pengusaha kecil dan ultra kecil. Tercatat sebanyak 1,6 juta pengusaha kecil dan usaha ultra kecil bidang makanan di Indonesia.

“Mampukah LPPOM yang hanya memiliki 1000 auditor untuk mengaudit secara cepat 1, 6 juta pengusaha kecil makanan dan minuman? Saya tidak yakin sebagian 1,6 juta pengusaha kecil dan ultra kecil mampu membayar sertifikat halal,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement