Jumat 13 Sep 2019 08:26 WIB

Pembangunan Industri Petrokimia Nasional di Depan Mata

Pemerintah akan memiliki 95 persen saham perusahaan petrokimia nasional.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Suasana kilang minyak Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Rabu (11/11).
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Suasana kilang minyak Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Rabu (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses konversi utang Multi Years Bond (MYB) PT Tuban Petrochemical Industries (TubanPetro) menjadi saham tinggal selangkah lagi. Yakni, dengan penandatanganan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Presiden Joko Widodo. PP tersebut bakal menjadi titik tolak pengembangan TubanPetro sebagai basis industri petrokimia nasional yang terintegrasi. 

Kebijakan konversi utang tersebut telah masuk dalam Undang Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2019. Semua Kementerian mendukung penuh.

Kementerian Keuangan memiliki saham 70 persen di TubanPetro. Pascakonversi tuntas, pemerintah akan memiliki 95,9 persen saham di TubanPetro. 

Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan, pihaknya optimistis pengembangan TubanPetro akan berkontribusi bagi industri nasional. Salah satunya, dalam memastikan pasokan petrokimia bagi industri yang lebih terjamin. 

"Karena itu, jika ingin membesarkan kemampuan dari sisi petrokimia, persoalan di TubanPetro harus diselesaikan," kata Sigit di Jakarta, Kamis (12/9). 

Sigit menyebut, kebijakan pemerintah yang menyelesaikan utang MYB TubanPetro sebesar Rp 3,3 triliun melalui konversi sudah tepat. Langkah itu diyakini memberi ruang kepada TubanPetro untuk mengembangkan bisnis. 

Karenanya, langkah pengembangan TubanPetro harus didukung oleh semua pihak. "Pasalnya, ke depan, kapasitas produksi di anak usaha TubanPetro, khususnya PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) yang selama ini hanya difungsikan pengolah BBM, bisa ditingkatkan lebih lagi," kata dia. 

Pihaknya meyakini, peran TubanPetro sangat besar mendukung industri, sekaligus dalam jangka panjang membantu menekan defisit.   

Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Isa Rachmatarwata menyampaikan, pengembangan industri petrokimia nasional melalui TubanPetro, mendapat dukungan penuh lintas Kementerian. Penyelesaian utang melalui konversi dimaksudkan untuk menuntaskan kendala-kendala yang menghambat TubanPetro. Terutama, dari sisi struktur permodalan dan keuangan. Kebijakan konversi yang diambil dilakukan dengan transparan dan akuntabel. 

"Langkah ini bertujuan untuk menyelamatkan piutang serta optimalisasi aset negara," ujarnya. 

Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries, Sukriyanto menambahkan, sebagai kompensasi dari pelunasan utang sebesar Rp 3,3 triliun, pemerintah akan menguasai 95,9 persen saham di TubanPetro. Dengan begitu, pemerintah bakal menjadi super mayoritas pemegang saham. Rencana kepemilikan saham tersebut juga sudah disetujui oleh kementerian terkait. 

"Jadi saat ini semua menteri dan ketua lembaga terkait sudah paraf, bukti kebijakan konversi ini didukung lintas kementerian,” ujar Sukriyanto.  

Pascakonversi tuntas, masih tersisa utang Rp 800 miliar yang akan diangsur selama kurun waktu 10 tahun. Angsuran itu akan dilakukan sembari TubanPetro mengembangkan grup untuk mendukung industri petrokimia nasional. Ia memastikan, jika beroperasi maksimal dalam jangka panjang, TubanPetro akan membantu neraca perdagangan.   

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan, penambahan saham pemerintah dari 70 persen menjadi 95,9 persen di Tuban Petro semakin cepat selesai maka lebih baik. Ia menuturkan, industri petrokimia merupakan tulang punggung kemajuan ekonomi negara, setelah industri logam dan industri pangan.

Urgensi pengembangan industri petrokimia juga mendesak karena Indonesia pernah menjadi yang terbesar di ASEAN di periode tahun 1985-1998 dari sisi kapasitas produksi. "Namun, kondisi tersebut, saat ini terbalik dimana Indonesia menjadi negara tujuan impor dari negara ASEAN dikarenakan tidak ada lagi investasi baru di sektor petrokimia," ujarnya. 

 

Dedy Darmawan Nasution

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement