Senin 08 Jul 2024 14:50 WIB

Inaplas Klaim Indonesia Banjir Produk Tekstil, Minta Segera Revisi Permendag No 8/2024

Peningkatan impor di sektor hilir, bisa memukul industri petrokimia dalam negeri

Forum Group Discussion (FGD) bertema Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, Senin (8/7/2024).
Foto: dok Ichsan Emrald Alamsyah/Republika
Forum Group Discussion (FGD) bertema Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, Senin (8/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengeluhkan meningkatnya impor tekstil dan produk tekstil termasuk produk pakaian jadi ke Indonesia. Masalahnya menurut dia dengan peningkatan impor di sektor hilir, bisa memukul industri petrokimia dalam negeri.

Sekretaris Jenderal Inaplas, Fajar Budiono, mengungkapkan bahwa industri petrokimia Indonesia saat ini berada dalam kondisi kritis dengan utilisasi yang tidak lebih dari 50 persen. Situasi ini diperparah dengan turunnya Purchasing Managers' Index (PMI) ke level 50,7 pada bulan Juni, dibandingkan 52,1 di awal bulan yang sama.

Baca Juga

Apalagi pada saat yang sama, menurut dia, terjadi banjir impor di sektor hulu akibat revisi aturan dari Permendag Nomor 36/2024 menjadi Permendag Nomor 8/2024. Sementara permintaan di industri makanan dan minuman masih stagnan, sedangkan industri otomotif mengalami penurunan karena anjloknya penjualan.

Sedangkan konsumsi plastik dalam negeri tergolong rendah sebenarnya yaitu 8,1 kg per tahun. "Permintaan masih ditopang oleh sektor swasta, tetapi tidak cukup untuk menstabilkan kondisi,"tutur Fajar dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema Permendag No 8 Tahun 2024, Wujud Nyata Denormalisasi Industri Petrokimia Nasional, Senin (8/7/2024).

Industri aromatik, terutama di sektor hilir seperti tekstil, juga mengalami penurunan tajam. Situasi ini diperburuk oleh aturan yang memudahkan impor produk tekstil, yang menurut Fajar, seharusnya lebih melindungi industri lokal daripada mempermudah masuknya barang impor.

Alhasil menurut Fajar Ketika industri menurun yang terjadi adalah menahan investasi atau bahkan juga investor menunda mengucurkan dana di Indonesia. Sementara dampak lainnya adalah pemutusan hubungan kerja.

Fajar mendesak pemerintah untuk bertindak sebagai wasit yang fair dalam mengelola kebijakan impor. Pemerintah telah membuka keran impor seluas-luasnya bagi produk tekstil dan produk tekstil (TPT), yang berakibat pada hilangnya pekerjaan ratusan ribu buruh di industri petrokimia.

"Sepanjang sejarah, ini adalah situasi terburuk yang dialami, bahkan lebih buruk dari pandemi Covid-19," tuturnya.

Industri petrokimia berharap adanya kebijakan yang lebih mendukung dan melindungi industri lokal. Salah satunya dengan melakukan revisi Permendag Nomor 8/2024.

Ia meyakini revisi aturan akan mampu menahan impor dan juga melindungi industri lokal. Dengan perlindungan yang memadai, diharapkan industri petrokimia dapat kembali bangkit dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement