Rabu 14 Aug 2019 00:32 WIB

Istana Waspadai Imbas Perang Mata Uang Cina

Pemerintah memantau dinamika global yang terjadi, termasuk perang mata uang.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
YUAN. Seorang warga melintasi kantor penukaran uang asing yang dihiasi gambar uang berbagai negara di Hong Kong, Selasa (6/8). Nilai tukar yuan Cina merosot tajam atas dolar AS sebagai akibat dari perang dagang dengan Amerika Serikat.
Foto: AP Photo/Kin Cheung
YUAN. Seorang warga melintasi kantor penukaran uang asing yang dihiasi gambar uang berbagai negara di Hong Kong, Selasa (6/8). Nilai tukar yuan Cina merosot tajam atas dolar AS sebagai akibat dari perang dagang dengan Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan menteri-menteri ekonomi di Istana Merdeka pada Selasa (13/8) sore. Jokowi meminta penjelasan dari jajarannya terkait pelemahan mata uang Cina, Yuan, terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pemerintah mencoba mengantisipasi risiko-risiko yang bisa saja berimbas terhadap perekonomian nasional, termasuk fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, Presiden Jokowi menginstruksikan menteri-menteri ekonomi untuk menyisir seluruh implikasi dan risiko yang bisa menimpa perekonomian Indonesia. Pemerintah, ujar Sri, juga mencoba menganilisis apakah pelemahan Yuan yang disebut devaluasi ini merupakan awal mula perang mata uang yang dinisiasi oleh Cina. 

"Tadi kami sampaikan bagaimana perkembangan terakhir di mana mereka (Cina) menembus 7 Yuan per dolar AS itu, apakah itu dianggap sebagai suatu awal dari terjadinya persaingan dari sisi currency," jelas Sri di Istana Negara, Selasa (13/8). 

Sri juga menyampaikan bahwa pemerintah juga terus memantau dinamika global yang terjadi, termasuk kebijakan dalam negeri AS sendiri. Seperti diketahui, perang mata uang yang terjadi saat ini merupakan buntut dari perang dagang antara Cina dan AS. 

Selain mewaspadai langkah lanjutan dari AS, pemerintah juga melihat adanya faktor eksternal lain yang ikut mempengaruhi perekonomian nasional, seperti situasi Hong Kong yang memanas, dan gejolak yang merembet ke 'emerging market' seperti Argentina, Meksiko, dan Brazil. 

"Dengan melihat itu semua kita membahas bagaimana respons yang terbaik bagi Indonesia," kata Sri. 

Dugaan devaluasi yuan sebelumnya sudah dibantah Bank Sentral China, People's Bank of China (PBoC). Mereka menyebut volatilitas nilai tukar yuan secara drastis beberapa waktu belakangan merupakan reaksi pasar menanggapi rencana kenaikan tarif impor yang digaungkan Amerika Serikat (AS).

Komentar Beijing ini merespons tuduhan manipulasi mata uang yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump kepada Cina, setelah mata uang Cina bergerak di 6,9 hingga tujuh Yuan per dolar AS dalam satu pekan terakhir.

Adapun Cina merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Namun posisi Indonesia selalu defisit karena serbuan barang impor konsumsi dari Cina. Menurut Badan Pusat Statistik, Indonesia mengalami defisit perdagangan terhadap Cina hingga 8,48 miliar dolar AS pada periode Januari-Mei 2019. Angka itu meningkat dari defisit Januari-Mei 2018 yang sebesar 8,11 miliar dolar AS. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement