REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan industri pengolahan terus mengalami perlambatan secara konsisten sejak akhir tahun lalu. Kementerian Perindustrian menilai penurunan pertumbuhan akibat terkenda dampak dari pelemahan ekonomi dunia.
Namun, konsumsi domestik masih bisa membantu industri dalam negeri untuk tetap bertahan. "Pertumbuhan global ada penurunan, ini juga dialami oleh negara lain seperi Singapura. Terjadi kontraksi dunia, tapi kita mengganjal dengan pasar domestik," kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (6/8).
Ia menambahkan, pemerintah akan fokus untuk menjaga laju konsumsi domestik demi mempertahankan pertumbuhan positif industri pengolahan. Salah satu sektor yang menjadi fokus yakni industri makanan dan minuman yang masih berpeluang tumbuh 11-12 persen. Selain itu, industri unggulan lainnya seperti tekstil dan pakaian jadi masih bisa tumbuh 18-19 persen.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri pengolahan pada kuartal II 2019 hanya 3,54 persen. Lebih rendah dibanding kuartal I 2019 sebesar 3,86 persen dan jauh lebih rendah dibanding kuartal II 2018 yang tumbuh 3,88 persen.
Industri makanan dan minuman secara year on year (yoy) atau tahunan tumbuh 7,99 persen. Sementara, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi tembus 20,71 persen. Industri yang mengalami pertumbuhan negatif yakni industri alat angkutan -3,73 persen serta industri karet, barang dari karet, dan plastik -7,22 persen.
Selain itu, industri batubata dan pengilangan migas juga mengalami kontraksi -0,25 persen. "Tentu kita harapkan di kuartal III 2019 ada pemulihan. Nanti akan kita lihat," kata Airlangga.
Ia berpendapat, di tengah situasi ekonomi dunia yang melemah, pemerintah harus memperkuat negosiasi dagang dalam perjanjian bilateral. Salah satunya melalui perundingan perjanjian perdagangan komprehensif atau CEPA yang sedang berlangsung dengan beberapa negara Eropa.
Airlangga menilai, cara itu lebih efektif untuk bisa meningkatkan perdagangan Indonesia di pasar global sehingga dapat menolong permintaan barang terhadap industri pengolahan dalam negeri. Sebab, lewat perjanjian dagang, bea masuk untuk ekspor produk akan dikurangi bahkan dihapuskan sehingga harga dapat lebih rendah dan berdaya saing.
"Kita mau ekspor baja ke Amerika Serikat kena bea masuk. Ekspor ke Cina ada antidumping. Makanya, negosiasi dagang harus lebih tinggi agar kita punya produk punya daya tawar," ujarnya.