REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan, salah satu hal yang menyebabkan neraca dagang defisit selama empat bulan pertama tahun ini adalah penurunan harga komoditas. Apabila dibandingkan 2018, ekspor non migas periode tahun ini mengalami peningkatan volume 13,07 persen, namun dari sisi nilai justru menurun 8,54 persen.
Tren penurunan harga komoditas sendiri sudah terjadi sejak tiga tahun terakhir. Khususnya minyak nabati, dalam hal ini adalah minyak kelapa sawit dan produk turunannya. "Penurunan cukup signifikan," ujar Arif saat dikonfirmasi Republika, Senin (20/5).
Arif mengatakan, defisit neraca dagang ini patut diwaspadai karena berkontribusi terhadap defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Dampak berikutnya, tekanan terhadap transaksi berjalan akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Oleh karena itu, Arif menyebutkan, Indonesia kini sedang menghadapi dua hambatan untuk pertumbuhan ekonomi. Pertama, perang dagang yang menyebabkan perlambatan di berbagai negara hingga menghambat kinerja ekspor Indonesia. Kedua, menghadapi situasi penurunan komoditas secara nilai.
Dalam jangka panjang, Arif mengatakan, neraca transaksi berjalan yang terus defisit akan menurunkan kemampuan negara membayar kewajiban luar negeri dalam bentuk valuta asing (valas). Sebab, salah satu sumber pembiayaan CAD adalah melalui utang. "Kondisi ini berpotensi menjebak Indonesia dalam debt trap apabila tidak mengalami perbaikan fundamental," tuturnya.
Jika Indonesia sudah terjebak dalam debt trap, Arif mengatakan, penipisan primary balance atau keseimbangan primer yang telah dicapai pemerintah pada tahun lalu akan sia-sia.
Selain melalui utang, CAD juga dapat dibiayai melalui pelepasan cadangan devisa oleh Bank Indonesia dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah dan bonds. Tapi, Arif menyebutkan, upaya ini sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Khususnya, saat terjadi serangan nilai tukar seperti yang terjadi saat krisis 1998.
Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menuturkan, apabila CAD terus terjadi, devisa Indonesia akan semakin tergerus. "Pentingnya devisa adalah sebagai buffer," ujarnya.
Pada 1997 sampai 1998, Telisa menuturkan, devisa Indonesia sempat mengalami titik negatif. Dampaknya, Indonesia meminta bantuan ke International Monetary Fund (IMF) dan terjebak sampai saat ini.
Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2019 sebesar 124,3 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan tujuh bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Telisa menuturkan, Indonesia kerap kali terjebak pada threshold yang sudah baku tersebut. Padahal, belum tentu threshold tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia, terutama di tengah tekanan global. "Semakin tertekan, kita butuh semakin banyak bantalan, artinya semakin banyak butuh cadev," ujarnya.
Telisa menekankan, jangan sampai cadev yang berfungsi sebagai buffer hilang dan mudah terbawa gejolak. Hal tersebut berpotensi menurunkan kehilangan kepercayaan investor.
Indonesia memiliki banyak sektor yang berpotensi menghasilkan devisa, terutama pariwisata. Indeks kepercayaan masyarakat dan kredibilitas pariwisata Indonesia terus membaik. "Bisa dilihat, di google trend, nama Bali dan Labuan Bajo terus populer di search engine," ucap Telisa.
Telisa menilai, concern pemerintah terhadap pariwisata kini terus meningkat. Baik itu melalui pemerintah (Kementerian Pariwisata) hingga Bank Indonesia fokus mengembangkan pariwisata mengingat potensi devisa yang besar di situ untuk memperbaiki CAD.