REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menilai pertumbuhan industri pengolahan belum memberikan kontribusi yang optimal kepada kinerja ekspor. Hal itu terjadi karena kebijakan industri manufaktur tidak mengalami perubahan berarti sehingga tumbuh melambat.
"Sekian tahun industri kita ini terhenti," katanya melalui keterangan, Jumat (17/5).
Menurut dia, kebijakan industri saat ini tidak mampu melahirkan industri pengolahan baru yang bisa berkembang dan berskala global. Padahal, industri pengolahan yang berorientasi ekspor ini sangat penting untuk memperbaiki kinerja neraca perdagangan yang masih mengalami defisit.
"Misal Korea membuat mobil, kita bisa menyediakan jok kursi atau kampas rem. Kita ikut menjadi bagian dari itu," katanya.
Selain itu, keterbatasan pasar nontradisional ikut memperparah lesunya kinerja ekspor yang saat ini juga terdampak oleh tingginya tensi perang dagang. "Untuk itu, Kementerian Perdagangan melakukan kerja sama dengan negara di Amerika Latin untuk memperluas ekspansi pasar," ujar Candra.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor industri pengolahan mengalami penurunan hingga 11,82 persen pada April 2019. Padahal porsi ekspor industri pengolahan terhadap ekspor Indonesia mencapai 74,77 persen dari keseluruhan total ekspor dengan nilai mencapai 9,42 miliar dolar AS.
Penurunan kinerja tersebut menjadi salah satu penyebab kegiatan ekspor nasional secara nasional tumbuh negatif hingga 13,10 persen. Lesunya ekspor ini juga berkontribusi terhadap neraca perdagangan yang pada April 2019 tercatat defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS atau tertinggi sejak 2013.