REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto mengatakan komplesitas global masih menjadi tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Menurutnya, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih lambat terjadi ditengah risiko sistem keuangan global yang masih tinggi.
Erwin mengambil permasalahan AS-Cina sebagai salah satu contoh. Dia melihat permasalahan antara kedua negara adidaya tersebut lebih dari sekadar perang dagang biasa.
"Ada masalah rivalitas yang meruncing diantara kedua negara tersebut. Jika ini akar permasalahannya, maka tensi perang dagang akan berlangsung lebih lama," ujar Erwin dalam acara Peluncuran Buku Kajian Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Semester II 2018, Jumat (3/5).
Erwin melanjutkan, contoh lain yang juga menambah kompleksitas perekonomian global dewasa ini yaitu kesinambungan model bisnis ekonomi digital sebagai mesin pertumbuham ekonomi global. Menurutnya, masih banyak pihak-pihak yang meragukan kesinambungan model bisnis unicorn.
Di samping itu, persepsi dan respons pelaku ekonomi menjadi mudah berubah akibat banyaknya data dan informasi yang tersedia. Sehingga, respons pelaku ekonomi pun menjadi tidak mudah diduga. Hal ini menyebabkan risiko kestabilan menjadi bertambah besar.
Dari sisi domestik, Erwin melanjutkan, perekonomian Indonesia dihadapkan pada ketersediaan pembiayaan dan produktivitas yang rendah. Perekonomian juga dihadapkan pada risiko ketergantungan bank pada retail funding.
Di tengah ruang ekspansi kredit yang masih cukup besar, kecenderungan perlambatan retail funding berpotensi menimbulkan risiko likuiditas. "Dalam jangka panjang, alat likuid bakal terindikasi semakin menipis seiring dengan meningkatkannya fund retail," tutur Erwin.