REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) baru saja meluncurkan Surat Utang Negara (SUN) Saving Bond Retail (SBR) seri SBR006. Kupon minimal yang ditawarkan untuk seri ini sebesar 7,95 persen.
Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana menilai, meski imbal hasil tidak sebesar seri sebelumnya, SBR006 tetap bisa menarik minat para investor untuk membeli. Menurutnya, imbal hasil tersebut masih sangat menguntungkan bagi investor apalagi di tengah kondisi yield global dan domestik yang cenderung mengalami penurunan.
"Dari karakter produknya sendiri saya berkesimpulan return-nya masih akan sangat menarik," kata Fikri saat dihubungi Republika, Senin (1/4).
Fikri menambahkan, SBR006 masih jauh lebih menarik dibandingkan dengan produk investasi lain dengan karakter yang sama. Fikri mencontohkan Surat Utang Negara 2 tahun (SPN12200313) yang dimenangkan di 26 Maret lalu hanya memiliki yield rata-rata tertimbang 6,04 persen.
Tidak hanya itu, keuntungan SBR006 jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Deposito Rupiah perbankan kurang 1 tahun, yang jumat (29/3) lalu rata-rata berada di angka 6,2 persen ditambah pajak 20 persen. Sedangkan SBR006 hanya dikenakan pajak sebesar 15 persen.
Dari sisi risiko, menurut Fikri, SBR006 relatif hanya memiliki risiko gagal bayar, sedangkan risiko volatilitas (baik dari return/kupon ataupun volatilitas/penurunan nilai) relatif tidak ada. Namun, Fikri menilai risiko gagal bayar itu pun juga bisa dikatakan sangat sangat kecil, karena dijamin negara.
Fikri mengungkapkan, kondisi pasar obligasi khususnya SUN dari sisi yield saat ini memiliki kecenderungan menurun. Risiko inverted yield curve di Amerika dan Kanada pun secara global cukup memberikan sentimen negatif pada pasar surat utang dalam negeri.
"Sehingga, tren penurunan yield yang seharusnya terjadi di pasar surat utang global terjadi di minggu lalu, tidak terjadi di Indonesia," kata Fikri.
Namun, Fikri melihat dengan sikap kehati-hatian pemerintah khususnya DJPPR dalam menjaga sisi fiskal, tampaknya ketakutan tersebut harusnya sudah dapat dikurangi. Begitupun dengan stance Bank Indonesia yang sekarang bergerak sedikit dovish, juga mengisyaratkan penurunan suku bunga acuan, seiring dengan inflasi yang terjaga.
Melihat hal itu, menurut Fikri, seharusnya suku bunga dan risk premi dalam negeri juga diharapkan akan turun. Selanjutnya, ini juga akan berdampak pada penurunan suku bunga di produk-produk keuangan, baik itu suku bunga perbankan, yield surat utang, dan lain-lain.