REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Prospek ekonomi Amerika Serikat (AS) tengah menunjukan sinyal akan adanya potensi perlambatan. Melambatnya perekonomian AS sedikit banyak dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski dibayangi ancaman itu, pemerintah meyakini, kalaupun terjadi perlambatan, dampak kepada Indonesia tidak akan besar.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Perkonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, perlambatan atau resesi ekonomi AS belum bisa dipercaya sepenuhnya.
Sebab, kata dia, proyeksi terakhir dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tidak menunjukkan akan adanya resesi pada ekonomi AS. Sebaliknya, berdasarkan proyeksi, faktor yang harus diwaspadai masih seputar perang dagang antara AS dan Cina.
“Trade war antara AS dan Cina yang justru akan sedikit menurunkan volume perdagangan dan ekonomi dunia,” kata Iskandar kepada Republika.co.id, Selasa (26/3).
Iskandar mengatakan, kalaupun terjadi, dampaknya tidak akan signifikan. Sebab, ketika terjadi resesi di negeri Paman Sam itu, keuangan global ikut dibayangi ketidakpastian. Disaat bersamaan, bank sentral negara-negara di dunia akan merespons dengan tidak menaikkan suku bunga secara agresif.
Kondisi itu, kata Iskandar, justru memberikan peluang terhadap Indonesia untuk bisa merasakan masuknya aliran dana asing capital inflow di pasar keuangan. “Nilai tukar rupiah juga bisa lebih stabil. Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi kita masih tetap dapat dicapai pada kisaran 5,2-5,3 persen,” ujarnya.
Adapun sektor yang akan didorong pemerintah untuk menjadi penopang utama pertumbuhan tahun ini yakni konsumsi masyarakat. Pihaknya memproyeksikan, konsumsi masyarakat tahun ini akan tumbuh pada level 5,1 hingga 5,2 persen.
Sinyal akan adanya perlambatan ekonomi AS dimulai dari adanya pembalikan posisi tingkat imbal hasil surat utang negara AS atau US Treasury antara tenor tiga bulan dan 10 tahun. Dimana, imbal hasil US Treasury tenor tiga bulan mencapai 2,46 persen, lebih besar daripada tenor 10 tahun yang hanya 2,43 persen. Kondisi tersebut, mengutip Reuters, terjadi pertama kali sejak 2017 silam.
Hal itu mencerminkan para investor membaca situasi ekonomi AS dalam beberapa waktu ke depan akan mengalami pelemahan.
Sementara itu, Ekonom Kantor Staf Presiden Denni Purbasari, menjelaskan, semua negara mengakui ekonomi AS adalah salah satu ekonomi terkuat di dunia. Namun, adanya sinyal resesi itu bisa menjadi keuntungan yang tak disadari bagi Indonesia.
Senada dengan Iskandar, Denni menuturkan, perlambatan ekonomi AS secara langsung mendorong Bank Sentra AS The Federal Reserve menahan kenaikan laju suku bunga. Sebagai catatan, kenaikan suku bunga AS secara langsung dapat melemahkan nilai tukar rupiah.
“Sebenarnya, kita melihat bahwa yang paling kita khawatirkan adalah perlambatan ekonomi Cina karena Cina mitra dagang terbesar Indonesia. Baik ekspor maupun impor. Bukan AS,” kata dia.