REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini para pelaku usaha dihebohkan dengan situasi disrupsi. Kondisi ini bagi sebagian kalangan dianggap sebagai suatu peluang, tapi bagi kalangan lain ada yang menganggap menjadi ancaman bahkan awal kebangkrutan yang tidak diinginkan oleh dunia usaha.
Bagi industri perbankan, PT Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Tbk menilai era disrupsi menjadikan perseroan harus bergerak mengikuti perubahan zaman. Sejak berdiri 2010 lalu, BNI Syariah terus mengalami pertumbuhan positif cukup signifikan.
Direktur Keuangan dan operasional BNI Syariah Wahyu Avianto mengatakan ada beberapa dampak dari era disrupsi ini. Salah satunya, perbankan perlu menguatkan payment sistem, mengingat selama ini keuntungan perbankan hanya didapatkan dari margin dan fee base.
“Kami siapkan payment sistem supaya tidak ketinggalan, lalu crowt funding di mana dana mengendap lumayan nah kita waspadai kita uang elektronik dan peer to peer landing,” ujarnya saat CAFE CEO ‘Benarkah Disrupsi Mematikan Bisnis’ di D’Consulat Lounge, Jumat (22/3).
Dia menjelaskan, pada 2010 lalu aset yang dimiliki BNI Syariah hanya Rp 6 triliun dengan perolehan laba sebesar Rp 30 miliar. Seiring inovasi yang dilakukan perseroan, maka BNI Syariah mampu meningkatkan kinerja yang cukup signifikan.
“Kami menikmati bisnis kita, secara tahunan pegawai bertambah 5-10 persen, bonus pegawai diberikan sekian kali setiap tahun. Jadi seolah bisnis tidak ada masalah, pegawai puas dan pemegang saham puas,” ungkapnya.
Ke depan, perseroan akan menyiapkan strategi guna mewaspadai gejolak era disrupsi. Salah satunya, menyiapkan tenaga IT yang nantinya akan dibuatkan program khusus.
“Tenaga IT mereka kerja 5-8 tahun, setahun belajar tahun kedua ketiga mengabdi maka tahun selanjutnya ditawar orang,” ucapnya.