REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, pemerintah harus memperhatikan komposisi 10 sektor non migas yang selama ini menjadi andalan ekspor Indonesia. Sektor itu didominasi oleh komoditas, seperti CPO (minyak kelapa sawit), kakao, kopi, karet dan batu bara. Selain itu, ada juga sektor lainnya, yakni ikan dan hasil laut, kayu dan furnitur, tekstil dan produk tekstil, kertas dan pulp dan nikel.
Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman mengatakan menjelaskan, komposisi harus diperhatikan mengingat sebagian dari komoditas ekspor unggulan itu adalah komoditas agrikultur ekstrakti. Mereka relatif memiliki karakteristik harga yang cukup volatil di pasaran internasional, meski berperan lebih dari 30 persen kontribusi kepada seluruh ekspor.
Khususnya, kakao dan kopi terutama yang terbilang rentan terhadap adanya perubahan cuaca drastis. Hal ini dapat memicu terjadinya gagal panen terhadap komoditas. "Pada akhirnya, dapat mengancam hilangnya potensi ekspor," ujarnya melalui siaran pers, Ahad (17/3).
Selain itu, CPO dan batu bara juga menghadapi permasalahannya masing-masing. Komoditas kelapa sawit saat ini sedang mengalami kesulitan untuk masuk ke pasar Uni Eropa. Sebab, mereka sedang mempermasalahkan keberlanjutan (sustainability) dari industri CPO Indonesia terhadap dampak lingkungan. Selain itu, pasar utama batu bara seperti Cina sudah mulai menggeser penggunaan energinya menjadi energi terbarukan.
Menanggapi hal ini, Ilman mengatakan, pemerintah perlu mendorong kebijakan pro ekspor kepada industri-industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Tujuannya, agar mampu berdaya saing di tingkat internasional dan dapat menambah kontribusi di neraca perdagangan Indonesia. "Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk itu,” katanya.
Di antaranya terhadap ekspor di sektor perikanan. Walaupun sudah termasuk sektor unggulan ekspor, sepatutnya perikanan dapat didorong untuk meningkatkan kontribusinya dengan lebih fokus pada ekspor ikan budidaya yang bernilai jual tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan mendorong penambahan luas area budidaya dan meningkatkan variasi jenis budidaya selain komoditas udang.
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang ditargetkan dapat memudahkan mobilitas logistik barang untuk diekspor dapat membantu mengurangi biaya produksi. Menurut Ilman, tipe kebijakan ini dapat membantu meningkatkan ekspor, terutama untuk ekspor di sektor otomotif dan mesin kendaraaan.
Terakhir, pemerintah perlu memberikan insentif bagi sektor logam mulia dan perhiasan agar dapat mendorong ekspor. Satu contoh capaian pemerintah yang patut dilanjutkan adalah tercapainya kesepakatan IA-CEPA antara Indonesia dan Australia. Perjanjian ini mendukung adanya peluang ekspansi pasar sektor tersebut ke Australia dari yang sebelumnya fokus di Singapura.
Selain itu, Ilman mengatakan, ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar ekspor dominan, seperti Cina, Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Asia Tenggara pada umumnya perlu digeser. "Caranya, dengan membuka pasar-pasar baru," katanya.
Ilman menyebutkan, pasar Afrika menjadi pasar potensial untuk dilirik sebagai tujuan ekspor. Saat ini, nilai perdagangan di negara-negara di Afrika masih didominasi oleh Cina dan negara Uni Eropa. Tapi, adanya peningkatan jumlah penduduk kelas menengah di Afrika dapat mendorong tumbuhnya permintaan yang selanjutnya dapat diisi oleh produk asal Indonesia,.