REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, lesunya kinerja ekspor Indonesia menjadi salah satu dampak signifikan dari perang dagang Amerika dengan Cina. Efek paling dekat terlihat dari nilai ekspor pada Januari 2019.
Nilai ekspor Indonesia pada Januari 2019 turun 4,7 persen (year on year) dibandingkan Januari 2018. Secara month on month pun, kinerja ekspor Januari 2019 menurun 3,42 persen.
Keterkaitan antara perang dagang dengan kinerja ekspor adalah dikarenakan Cina dan Amerika menajdi dua pangsa pasar ekspor terbesar Indonesia, di samping Jepang. Ketiganya berkontribusi hampir 35 persen dari total ekspor keseluruhan.
"Ketika pertumbuhan ekonomi dan perdagangan Cina maupun AS melemah, kita akan terpengaruh," tutur Darmin ketika ditemui di kantornya, beberapa waktu lalu.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Januari, total penurunan nilai ekspor pada Januari ke tiga negara tujuan utama mencapai 430 juta dolar AS. Sementara itu, nilai ekspor ke sepuluh negara utama lainnya maupun ke 13 negara tujuan selain utama turut mengalami penurunan hingga 160 juta dolar AS.
Salah satu solusi mengatasi permasalahan ini adalah mencari pasar baru. Karena itu, pemerintah kini tengah gencar membuka peluang dengan membuat perjanjian bersama pasar nontradisional seperti negara-negara di Afrika. Tapi, Darmin mengakui, upaya tersebut tidaklah mudah dan efeknya baru dirasakan dalam jangka panjang.
Selain itu, Darmin menambahkan, pemerintah juga sudah merumuskan produk andalan dari sektor manufaktur yang dapat didorong ekspornya. Terakhir, pemerintah meluncurkan simplifikasi prosedur ekspor untuk kendaraan bermotor jadi.
"Ini dorongan untuk (industri) otomotif yang selama ini jadi keunggulan sektor manufaktur," ujarnya.
Di sisi lain, perang dagang juga memberikan dampak tidak langsung yang sifatnya positif. Darmin mencontohkan, akibat perang dagang, investor di Cina yang berasal dari Amerika ataupun Eropa akan mulai berpikir untuk merelokasi modal dan sumber daya ke negara Asia lain. Tidak terkecuali ke Indonesia.
Apabila para investor tersebut memaksakan bertahan di Cina, cepat atau lambat mereka akan dihalangi oleh AS. Darmin menjelaskan, kondisi ini yang dimanfaaatkan sebagai pemerintah oleh pemerintah. Di antaranya dengan memberikan ‘pemanis’ bagi calon investor seperti dengan insentif fiskal maupun kemudahan lain.
Darmin menekankan, perang dagang merupakan sebuah momentum yang harus segera dimanfaatkan. Jika tidak, Indonesia akan kalah bersaing dengan negara tetangga untuk menjadi tempat relokasi dari dampak perang dagang. "Misalnya, Malaysia, Thailand dan Vietnam," tuturnya.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir mengatakan, upaya pemerintah dalam mengatasi dampak perang dagang adalah menggenjot investasi. Khususnya, investasi yang mampu memperkuat industri dari hulu ke hilir melalui paket kebijakan.
Ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah. Iskandar menyebutkan di antaranya adalah mengoptimalkan sistem perizinan online single submission (OSS), memberi insentif pajak untuk industri pionir, dan relaksasi daftar negatif investasi (DNI). "Upaya ini tetap kami prioritaskan karena tahun ini, kita akan berfokus pada investasi," ujarnya.
Tidak hanya kinerja ekspor-impor, perang dagang juga disebut berdampak terhadap investasi Indonesia. Laporan yang dirilis Badan Koordinasi penanaman Modal (BKPM) memperlihatkan, realisasi investasi sepanjang 2018 adalah Rp 721,3 triliun. Pencapaian itu meleset dari target investasi yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), yakni Rp 765 triliun
Secara rinci, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 2018 tercatat Rp 324,8 triliun atau tumbuh 25,3 persen dibanding tahun 2017 sebesar Rp 262,3 triliun. Sementara Penanaman Modal Asing (PMA) mengalami penurunan hingga 8,8 persen, yaitu dari Rp 430,5 triliun ke Rp 392,7 triliun.
Kepala BKPM Thomas Lembong menyebutkan, perang dagang Cina dan AS sejak April menjadi faktor utama perlambatan investasi tersebut. Ditambah lagi dengan kenaikan bunga acuan oleh bank sentral AS, The Federal Reserve, yang agresif.
Menurutnya, gejolak global terbilang parah, sehingga berbagai negara gagal dalam mengantisipasinya. Thomas menilai, permasalahan ini harus segera ditangani begitu pemilu selesai pada April.
Apabila tidak, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap prospek investasi pada 2020. "Bisa meledak di 2020 atau 2021," ujarnya.
Tetap Waspada
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah terus memperhatikan dampak perang dagang. Baik itu terhadap pasar internasional, pasar keuangan, maupun perekonomian Indonesia sendiri.
Fokus pemerintah yang masih diperhtanakan adalah menjaga kinerja ekspor untuk tetap tumbuh. Selain itu, Suahasil menambahkan, pemerintah juga mengupayakan kondisi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tetap kredibel. "Caranya dengan menjaga komponen ekonomi makro berada pada target yang ditetapkan," katanya.
Sinyal damai negosiasi perang dagang AS dengan Cina terlihat beberapa waktu terakhir. Tapi, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak menilainya sebagai sebuah jaminan bahwa ketidakpastian global akan berakhir. Perekonomian global pada tahun ini diperkirakan tetap masih akan melemah, sehingga dibutuhkan penyesuaian.
Menurut Sri, ada dua sentimen eksternal yang harus diperhatikan perekonomian Indonesia pada 2019. Pertama, ekonomi Cina yang diprediksi melambat sepanjang tahun.
Pada tahun lalu, Cina melaporkan pertumbuhan ekonominya melambat hingga 6,6 persen yang menjadi rekor pertumbuhan paling lambat sejak 1990. Cina berencana mendorong faktor konsumsi domestik untuk membantu pertumbuhan ekonomi. Dampaknya, mereka akan mengurangi porsi ekspor dan investasi yang pastinya akan berdampak pada Indonesia.
"Cina sebagai negara dengan size ekonomi terbesar kedua di dunia juga tengah menyesuaikan diri," ujar Sri dalam acara di Jakarta, pekan lalu.
Sentimen eksternal kedua adalah suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed. Dibandingkan 2017, kini suku bunga telah naik 100 basis poin yang juga diikuti negara lain, termasuk Indonesia. Efeknya, pengusaha enggan melakukan ekspansi karena cost of money yang meningkat.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memprediksi, ketidakstabilan ekonomi global akan lebih banyak berdampak ke sektor perdagangan nasional. Kondisi ini berbeda dengan dampak tahun lalu yang cenderung dirasakan di sektor aliran modal. Penyebabnya, AS dan Cina merupakan mitra dagang Indonesia.
Dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di keuda negara tersebut, Perry menambahkan, akan terjadi penurunan permintaan. Tapi, ia mengimbau kepada para pengusaha untuk tidak putus asa dan tetap cermat dalam mencari peluang atau celah.
"Ada kesempatan dari pertumbuhan ekonomi Cina yang turun, yaitu relokasi industri," katanya.
Selain itu, Perry menambahkan, kini pemerintah juga sedang berusaha mencari pasar baru. Ia mengajak pengusaha di berbagai sektor untuk terlibat dalam perluasan pasar ini. Misalnya, sektor manfaktur gerbong kereta ke Bangladesh dan India.