REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan, penurunan kinerja ekspor yang terjadi dikarenakan ekspor Indonesia masih didominasi oleh bahan mentah atau komoditas. Maka ke depannya, nilai tambah ekspor perlu ditingkatkan.
"Memang kita alami penurunan ekspor di kelapa sawit dan batu bara. Si kelapa sawit sebenarnya bagus (kinerja ekspornya) hanya saja pergerakan harga komoditas memang begitu, fluktuasinya memang besar karena faktor global," ujar Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada Republika.co.id, Ahad, (17/2).
Sentimen global, lanjut dia, menyebabkan permintaan terhadap komoditas turun sehingga otomatis harganya turun. "Kita ini 60 persen ekspornya masih bahan mentah jadi nilai tambah terbatas. Strategi ke depan harus ditingkatkan bahan olahan produk yang nilai tambah besar," ujarnya.
Bila kinerja ekspor terus turun, defisit neraca perdagangan pun akan terus terjadi. "Kalau kinerja perdagangan kita terus defisit, ini nggak bagus karena cadangan devisa bisa tergerus. Otomatis menimbulkan banyak problem misalnya ke pelemahan rupiah, kalau lemah berarti suku bunga naik, jadinya nggak efisien karena biaya semakin tinggi," ujar Hariyadi.
Maka, kata dia, harus diatasi dengan kenaikan ekspor. Sekaligus pengendalian impor. Menurutnya, pengendalian impor saat ini belum optimal. "Bahan baku masih banyak impor. Perlu benar-benar ditentukan mana bahan baku yang bisa disubtitusi ada di dalam negeri mana yang harus impor," kata Haryadi.
Dirinya tidak memungkiri ada beberapa bahan baku yang harus impor seperti garam dan bawang putih. Sebab, dengan curah hujan yang sedang besar di Indonesia, produksi garam serta bawang putih di Tanah Air tidak bisa maksimal.
"Kalau yang seperti itu nggak apa-apa kalau kita impor. Hanya saja kalau CPO kan kita kuat, maka harus diseriusin turunannya misal untuk membuat minyak goreng dan lainnya. Gula juga kita sudah pasti cocok jadi nggak perlu impor," tutur Haryadi.
Lebih lanjut, ia menyatakan, peluang membuat bahan baku di dalam negeri masih tinggi. Dari mulai sektor pangan hingga manufaktur.
"Banyak yang bisa kita kerjakan, contohnya terkait elektronik kita bisa buat bohlam lampu atau genset karena pasarnya besar kalau nilai tambahnya tinggi malah bisa ekspor. Pembuatan mesin pertanian juga oke kalau kita kerjakan di sini," jelasnya.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan pada Januari 2019 kembali defisit. Kali ini defisit sebesar 1,16 miliar dolar AS, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 1,03 miliar dolar AS.