REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan bahwa perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia–Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU CEPA) telah memasuki tahap akhir. Dari total substansi perjanjian, lebih dari 90 persen telah disepakati kedua pihak.
“Terkait dengan IEU CEPA ini, proses perundingan substansinya sudah masuk tahap terakhir. Hampir seluruh substansi sudah disepakati. Itu hasil dari pertemuan kemarin di Eropa, di Brussel,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, di kantornya, Jumat (13/6/2025).
Pernyataan ini disampaikan Airlangga usai menerima Komisioner Perdagangan Uni Eropa, Maros Sefcovic. Ia menargetkan seluruh penyusunan naskah dapat rampung pada September, bersamaan dengan rencana kunjungan Maros ke Indonesia.
“Target ini, dari segi seluruh drafting, diharapkan bisa selesai. Saat ini sudah lebih dari 90 persen, dan bisa tuntas di bulan September. Mudah-mudahan saat itu bisa ada notulen atau memorandum yang ditandatangani,” ujarnya.
Setelah penandatanganan, proses hukum akan dimulai. Perjanjian ini harus diratifikasi oleh seluruh 27 negara anggota Uni Eropa dan Indonesia, termasuk diterjemahkan ke dalam 27 bahasa resmi Uni Eropa.
“Ini hanya bisa berlaku jika 100 persen negara sudah meratifikasi. Setelah itu baru bisa entry into force,” jelas Airlangga.
Ia optimistis proses ratifikasi akan berjalan cepat. Pemerintah menargetkan IEU CEPA dapat mulai berlaku efektif pada akhir 2026.
Manfaat langsung IEU CEPA
Salah satu manfaat utama dari perjanjian ini adalah penghapusan tarif ekspor sejumlah produk Indonesia ke Eropa. Misalnya, produk tekstil dan pakaian yang sebelumnya dikenakan tarif 8–12 persen, akan menjadi nol persen. “Jadi itu semua akan turun,” kata Airlangga.
Capaian penting lainnya adalah dimasukkannya komoditas kelapa sawit dalam perjanjian. Sebelumnya, komoditas ini sempat dikecualikan dari pembahasan. “Nah sekarang sudah include. Ini sebuah kemajuan. Sawit juga akan diberikan low hanging fruit, baik untuk food grade maupun untuk fuel,” ucapnya.
Airlangga menambahkan bahwa hambatan ekspor sawit selama ini lebih terkait pada pemanfaatan sebagai bahan bakar. Namun Indonesia telah siap dengan teknologi B40 dan sedang mendorong B50.
“Apalagi kita lihat Timur Tengah memanas, bukan mendingin. Jadi persiapan-persiapan itu sudah kita lakukan,” tegasnya.
Arah perdagangan berkelanjutan
Pemerintah juga menekankan pentingnya pengurangan hambatan non-tarif dan kejelasan standar perdagangan. IEU CEPA memuat satu bab khusus mengenai perdagangan berkelanjutan, termasuk keberlanjutan sawit dan posisi Indonesia terhadap regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR). Pemerintah berharap penguatan mitigasi dapat disepakati bersama.
Dengan seluruh capaian tersebut, Airlangga menargetkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa bisa meningkat hingga 50 persen dalam tiga tahun mendatang.
“Kalau ekspor kita naik 50 persen, itu setara dengan Vietnam ataupun Malaysia tahun ini,” ujar Airlangga.