REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maskapai Citilink Indonesia berupaya meningkatkan pendapatan nontiket di tahun ini dengan memaksimalkan angkutan kargo dan bisnis pendukung (ancillary business).
Direktur Niaga Citilink Indonesia Benny Rustanto mengatakan selain kargo, pihaknya mengincar sumber pendapatan pendukung lainnya, yaitu iklan, makanan, minuman, wifi, dan sebagainya.
"Kami tak hanya andalkan 'revenue stream' dari penumpang, contohnya merchandise, wifi, kami bisa jualan iklan di mana kami bisa meningkatkan pendapatan dari maskapai, sehingga target 2019 tercapai," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (28/1).
Dia menargetkan pendapatan kargo bisa meningkat enam persen dan bisnis pendukung lima persen. "Mengenai 'ancillary business', ditargetkan sebesar 11 persen, lima persen dan enam persen kargo," katanya.
Sementara itu, dia menyebutkan, untuk target peningkatan jumlah penumpang tahun ini, yaitu tumbuh 25 persen dari 15 juta penumpang menjadi 17 juta penumpang dan pendapatan tumbuh 25 persen.
Mulai 8 Februari 2019, Citilink juga mengenakan tarif bagasi mengingat rata-rata penumpang Citilink hanya membawa bagasi sebesar tujuh sampai 11 kilogram.
"Kami sudah survei dari 2017 hingga 2018, penumpang Citilink di 'low season' yang pakai bagasi tujuh sampai 11 kilogram," katanya.
Dalam kesempatan sama, Vice President Cargo and Ancillary Revenue Harismawan Wahyudi menyebutkan seharusnya untuk penerbangan berbiaya hemat (LCC), kontribusi bisnis pendukung ke pendapatan 15 hingga 20 persen.
"LCC seharusnya bisa sampai 15-20 persen, tapi kami sekarang masih mengejar target 11 persen, sekarang masih belum cukup. Seharusnya memang tahun ini targetnya berlipat ganda," katanya.
Dia mengatakan pihaknya sudah sejak tahun lalu menaikkan tarif kargo sebesar 30 persen.
Harismawan menyebutkan sumber pendapatan nontiket terbesar dari pemilihan kursi saat pemesanan (seat assignment) dari kerja sama agen perjalanan daring.
"Tahun ini kami juga akan buka lebih banyak iklan di pesawat," katanya.