Senin 14 Jan 2019 19:05 WIB

Bisnis Ritel Berguguran, CT: Kalau tidak Berubah, akan Kalah

Pelaku usaha disarankan menyesuaikan bisnis sesuai permintaan pasar.

Rep: Ahmad Fikri Noor/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan RI Srimulyani Indrawati (kanan), berbincang bersama Pengusaha Nasional sekaligus Mantan Menko Perekonomian Chairul Tanjung (kiri)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Keuangan RI Srimulyani Indrawati (kanan), berbincang bersama Pengusaha Nasional sekaligus Mantan Menko Perekonomian Chairul Tanjung (kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chairman CT Corp Chairul Tanjung menilai, pengusaha bisnis retail harus mampu menyesuaikan model bisnis dengan perkembangan zaman. Menurutnya, saat ini terjadi persaingan sengit di industri tersebut. Hal itu pun turut menyebabkan gerai ritel seperti Hero harus tutup. 

"Bisnis modelnya mesti diubah. Karena kalau tidak berubah, ya pasti akan kalah dan kalau kalah ya mau tidak mau harus tutup," kata Chairul di Jakarta, Senin (14/1). 

Menurutnya, seiring berjalannya waktu terjadi pergeseran pola permintaan konsumen. Dunia usaha pun disarankan untuk bisa menyesuaikan bisnis sesuai permintaan pasar. 

Terkait dengan kemajuan ritel daring atau e-commerce, Chairul menilai hal itu bukan satu-satunya pilihan perubahan model bisnis. "Banyak perubahan model bisnis lain yang bisa dilakukan. Online hanya salah satu dari perubahan bisnis model," kata Chairul. 

Baca juga, 532 Karyawan Supermarket Hero Terkena Dampak Efisiensi

Sebelumnya diberitakan, PT Hero Supermarket Tbk berupaya menerapkan strategi keberlanjutan bisnis. Di antaranya dengan memaksimalkan produktivitas kerja melalui proses efisiensi atau penutupan toko.

Hero menyatakan, sebanyak 532 karyawan terkena dampak efisiensi tersebut. Lalu sebanyak 92 persen di antaranya telah mengerti sekaligus sepakat mengakhiri hubungan kerja dengan perseroan.

Corporate Affairs GM Hero Supermarket Tony Mampuk menyebutkan, sebanyak 26 toko Hero sudah ditutup. Sampai kuartal III 2018, Hero Supermarket mengalami penurunan penjual sebanyak 1 persen atau senilai Rp 9.849 miliar. Sebelumnya pada 2017 sebanyak Rp 9.961 miliar.

Penurunan tersebut, kata dia, disebabkan oleh penjualan bisnis makanan yang lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Meski begitu, Tony menjelaskan bisnis non-makanan tetap menunjukkan pertumbuhan cukup kuat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement