Senin 17 Dec 2018 14:34 WIB

BPKN: Konsumen Paling Banyak Mengadukan Soal Perumahan

Pengaduan soal perumahan mencapai 86 persen dari total pengaduan yang diterima BPKN

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Konferensi pers Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Jakarta, Senin (17/12).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Konferensi pers Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Jakarta, Senin (17/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mencatat sepanjang 2018 perumahan menjadi permasalahan yang paling banyak diadukan oleh masyarakat. Dari total 403 aduan yang disampaikan ke BPKN pada tahun ini, sekitar 86 persen di antaranya atau 350 aduan berbicara tentang sektor perumahan.

Wakil Ketua BPKN Rolas Budiman Sitinjak mengatakan, keluhan konsumen di sektor perumahan memiliki spektrum yang luas, Di antaranya, iklan yang menyesatkan, pemahaman konsumen atas perjanjian atau kontrak yang tidak memadai dan cara pembayaran dengan kredit pemilikan rumah. "Paling banyak adalah terkait pembiayaan," tuturnya dalam konferensi pers di Kantor BPKN, Jakarta, Senin (17/12).

Baca Juga

Rolas menjelaskan, perumahan menjadi isu paling masif dan eksotik yang terjadi di Jabodetabek. Sejak September 2017, setidaknya sudah 434 pengaduan perumahan dengan isu paling marak adalah rumah bodong. Artinya, keberadaan sertifikat rumah nasabah KPR tidak jelas, seperti sudah diagunkan ke bank lain atau ditahan oleh pengembang.

Dengan begitu, Rolas menambahkan, masyarakat tidak bisa memiliki hak atas rumah. Sebab, sekalipun konsumen sudah melunasi biaya rumah, mereka tidak dapat memegang sertifikat rumah KPR. Dua perumahan yang termasuk di dalamnya adalah Perumahan Sentul City Bogor dan Perumahan Violet Garden Bekasi.

Atas permasalahan ini, Rolas menjelaskan, beberapa konsumen sudah melaporkan tindakan pidana ke Polda, Mabes Polri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Tapi, setelah melaporkan itu, tidak ada penyelesaian,” ujarnya.

BPKN sendiri sudah mengadakan pertemuan dengan mengundang pemangku kepentingan lain. Di antaranya penyedia perumahan, Bank Indonesia (BI), OJK dan konsumen. Dari pertemuan, pihak-pihak tersebut terkesan lepas tangan atau tidak ingin bertanggung jawab.

Untuk BI, Rolas menuturkan, sudah beralasan mengeluarkan kebijakan loan to value yang telah diadakan beberapa perubahan. Intinya, kebijakan ini mengatur tentang pembiayaan, baik benda bergerak maupun tidak. "Peraturan ini sudah bagus karena BI urusannya dengan makro," tuturnya.

Sementara itu, menurut Rolas, OJK tidak ingin mengurus teknis. Mereka menyerahkan masalah kepada tiap perbankan terkait yang memang berurusan langsung dengan nasabah. Sedangkan, pihak perbankan cenderung melempar tanggung jawab kepada pengembang.

Rolas menyebutkan, bank besar yang diadukan tidak terbatas pada swasta, melainkan pelat merah atau BUMN seperti BTN dan BRI. Sebanyak 75 persen pengaduan ditujukan kepada BUMN, sedangkan sisanya bank swasta. Untuk pengembangnya pun ada yang berskala kecil maupun besar.

Tapi, pada prinsipnya, persoalan pembiayaan perumahan adalah paling vital di lembaga pembiayaan baik bank maupun non bank. Menurut Rolas, OJK harusnya melaksanakan pengawasan secara maksimal. "Selama ini masih kurang dan ini yang harus disikapi," katanya.

Rolas mengatakan, permasalahan utama dari keberadaan perumahan bodong ini adalah siapa yang harus bertanggung jawab. Menurutnya, terlalu banyak pemangku kepentingan yang menyebabkan masyarakat menjadi korban.

Sementara itu, Ketua BPKN Ardiansyah Parman mencatat, ada beberapa rekomendasi yang patut dilakukan pemerintah. Salah satunya, perlu menetapkan mekanisme kontrol pada bank untuk memastikan penguasaan sertifikat yang menjadi objek jaminan dalam pemberian kredit.

Selain itu, melakukan berbagai pemangku kepentingan seperti pengembang perumahan harus melakukan kerja sama dengan Kementerian PUPR. Tujuannya, untuk melakukan pengendalian dan pengawasan penerapan perjanjian baku agar tidak melanggar peraturan. "Perbankan bersama Kementerian PUPR juga sebaiknya menyusun peraturan bersama tentang keamanan transaksi termasuk transaksi online khusus KPR dan KPA," ucap Ardiansyah.

Pemerintah juga sebaiknya menerbitkan Peraturan Menteri mengenai pengawasan iklan, cara menjual dan pengawasan klausula baku. Regulasi ini kemudian dapat dijadikan sebagai acuan bagi petugas pengawasan serta LPKSM dalam menjalankan fungsi pengawasan. Sebab, salah satu aduan yang juga sering disampaikan adalah terkait iklan menyesatkan atau tidak diimplementasikan.

Apabila ini tidak segera diatasi, isu perumahan tetap menjadi dominan keluhan masyarakat pada 2019. "Insiden tertinggi akan terkait dengan pemulihan hak konsumen untuk menerima sertifikat atas unit rumah atau tempat tinggal yang menjadi objek transaksi. Pemerintah harus segera ambil langkah untuk antisipasi," kata Ardiansyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement